Apa Benar Kita (Sudah) Merdeka?

Oleh IMMawan Rahman  Putra[*]
Penarikan
BBM bersubsidi mengakibatkan harganya meningkat. Tak main-main dua ribu rupiah
kenaikannya, sekitar 30 persen. Kemudian banyak pro-kontra yang terjadi.
Sebagian mendukung dan sebagian menolak. Jumlahnya hampir berimbang.
Di
beberapa media, penarikan subsidi ini oleh Jokowi ditenggarai oleh subsidi yang
tidak tepat sasaran. Anggaran negara yang defisit. Impor BBM yang semakin
meningkat hingga cadangan minyak bersubsidi yang diperkirakan tidak akan cukup
hingga akhir tahun. Maka Jokowi-JK beserta kabinet Kerja memutuskan untuk
menarik subsidi dan mengalokasikannya kepada hal-hal penting lainnya.
Pendidikan, kesehatan dan infrastruktur menjadi tiga komponen yang akan
dikembangkan dengan menggunakan subsidi BBM yang ditarik.
Setelah
pengumuman kenaikan harga BBM. Terjadi penolakan besar-besaran oleh kalangan
mahasiswa dan buruh. Analisis mereka mengatakan bahwa kenaikan harga BBM akan
berimbas pada kebutuhan harga pokok. Sehingga warga yang miskin justru akan
semakin miskin. Maka beberapa hari kemudian setelah kenaikan harga BBM. Biaya
transportasi naik, biaya kebutuhan pokokpun ikut naik. Hingga gorengan di
warung tak mau kalah. Menaikkan harganya sebanyak 50 persen.
Seminggu
terakhir aksi-aksi mahasiswa dan buruh kian menjadi. Buruh menuntut kenaikan
gaji dan mahasiswa menuntut pengembalian subsidi BBM. Beberapa kota besar
menjadi ribut dan macet. Demo-demo tak bisa dihentikan. Mahasiswa dan buruh
merasa bahwa DPR tak lagi mewakili kepentingan mereka. Demo dianggap sebagai
salah satu cara terbaik dan tercepat untuk menyampaikan aspirasi. Bakar ban.
Menghentikan kendaraan tanki Pertamina hingga mogok kerja menjadi aksi wajib
dalam demo.
Berhari-hari
demo terjadi. Menguras tenaga, waktu dan biaya. Sayangnya Pemerintah tak
merespon aksi-aksi ini dengan baik. Pemerintah tetap tegar dengan keputusannya.
Walau keputusan ini diambil dengan mengacuhkan sistem bernegara, papar salah
seorang anggota DPR RI.
Hal
mengerikan terjadi kemarin. Salah satu mahasiswa Makassar. Yang terlibat dalam
aksi-aksi ini meninggal. Meninggal karena ditabrak mobil water canon aparat kepolisian. Media mulai ribut. Para mahasiswa
teriris hatinya. Sahabat seperjuangan telah pergi untuk selamanya. Demi
masyarakat miskin yang diperjuangkan. Masyarakat yang tak tahu menahu bahwa
kehidupan mereka semakin menderita akibat BBM.
Hal
ini perlu disesalkan. Saat demokrasi negara kita dianggap sebagai salah satu
demokrasi yang berhasil oleh dunia internasional. Saat itu pula, tindakan-tindakan
represif aparat hadir. Demokrasi yang dijunjung oleh rakyat Indonesia. Yang
mengutamakan kepentingan rakyat diabaikan. Dan diinjak-injak oleh pemerintah.
Apapun alasannya, tindakan aparat yang mengakibatkan kematian pada aksi-aksi
seperti ini perlu dikritisi dan dibongkar ke publik. Kenapa Polisi yang harus
melindungi warga sipil. Justru melukai warganya. Siapa dalang dibalik semua
kejadian memilukan ini.
Maka
pemerintah negeri ini. Perlu meng(k)aji lagi makna demokrasi. Makna kemerdekaan.
Karena saat hak-hak kita untuk berbicara telah dibungkam. Maka kita tak lagi
merdeka!
Salam
perjuangan!
Samarinda,
28 November 2014.


[*]Kader Muhammadiyah Kalimantan Timur-Utara