Soal Kontroversi Aborsi, Muhammadiyah Berbeda dengan NU dan MUI

Kontroversi aborsi masih terjadi di kalangan lembaga atau ormas Islam di Indonesia. Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan pihaknya masih menggunakan fatwa lama menyikapi kontroversi larangan pengecualian aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan. Fatwa tersebut menegaskan aborsi hanya boleh dilakukan untuk perempuan terancam darurat medis dan tidak untuk korban perkosaan.

“Pihak Muhammadiyah belum melakukan perubahan fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) ataupun Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) yang lebih memberikan peluang atas aborsi non medis,” kata Syamsul saat dihubungi oleh CNN Indonesia, Senin (17/11/2014). 
Berdasarkan fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1989 tentang aborsi dinyatakan bahwa aborsi dengan alasan darurat medik diperbolehkan. Sementara itu, aborsi dengan alasan darurat non medik seperti akibat pemerkosaan hukumnya haram. 

Syamsul kemudian menjelaskan kondisi darurat medik merujuk pada kondisi di mana seorang ibu yang kondisi keselamatannya akan terancam jika melakukan kehamilan atau operasi kehamilan untuk kesekian kalinya. 

“Kasus medis seperti itu diperbolehkan aborsi. Tetapi, hanya sebatas itu saja sama seperti fatwa MUI yang lama sebelum diubah tahun 2006 lalu,” kata Syamsul. 
Pihak MUI, katanya, mengubah fatwa mereka dengan melonggarkan sebab diperbolehkannya aborsi dari hanya sebatas medis menjadi korban pemerkosaan. Fatwa tersebut diambil berdasarkan penelitian pada 2003 dari sembilan akademisi dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) dan Universitas Yarsi. 
Hasil penelitian selama dua tahun tersebut menyatakan manusia terbentuk saat proses menempelnya sel sperma dengan sel telur atau pembuahan dengan usia janin lebih dari 41 hari. Oleh kesembilan peneliti tersebut, hasil kajian dibawa ke pihak MUI dan kemudian disahkan oleh pihak MUI. 
Fatwa tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar oleh pemerintah dalam menerbitkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 
“Jadi, sebenarnya yang dibuat oleh pemerintah itu meniru kajian yang ditetapkan oleh MUI,” kata Syamsul. 
Sementara itu, mengenai fatwa Muhammadiyah sendiri, pihaknya bersikukuh masih menggunakan landasan yang lama, yakni fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1989. Namun, banyaknya pertanyaan yang muncul mengenai boleh atau tidaknya aborsi untuk korban pemerkosaan, Syamsul mengatakan pihaknya sampai saat ini masih mencari masukan dan mendiskusikan kemungkinan yang ada. 
“Pasalnya persoalan ini masih menimbulkan banyak masalah. Bagaimana bila seorang perempuan hamil karena suka sama suka malah mengaku diperkosa. Ini kan, tidak benar,” katanya. “Untuk sementara kami perbolehkan aborsi untuk keadaan darurat medik saja.”
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin mengapresiasi langkah Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) yang memutuskan aborsi boleh dilakukan dengan pengecualian tertentu. Lukman menilai langkah tersebut memperkuat keputusan pemerintah dari segi pemahaman teologis agama Islam. Meski demikian, pihaknya menekankan dengan tegas bahwa aborsi hanya bisa diperbolehkan dengan beberapa ketentuan khusus. 
“Pada hakekatnya aborsi sesuatu yang diharamkan. Aborsi dimungkinkan untuk dilakukan hanya karena syarat-syarat yang ketat sekali seperti membuat depresi korban perkosaan,” kata Lukman menjelaskan.(sp/cnnindo)