5 Alasan Untuk Mencabut Instruksi Gubernur DKI Terkait Pemotongan Qurban

Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 67/2014 tentang
Pengendalian Penampungan dan Pemotongan Hewan menyambut terus menuai
penolakan karena menimbulkan banyak fitnah serta ketidaknyamanan dari
umat Islam Jakarta jelang Hari Raya Idul Kurban. Makanya, Instruksi
Gubernur harus dicabut.

Aktivis muda Muhammadiyah Mustofa B.
Nahrawardaya membeberkan setidaknya ada lima alasan kenapa Instruksi
Gubernur tersebut harus dicabut.

Pertama, dokumen Instruksi
Gubernur tersebut diduga liar dan tidak resmi karena Wakil Gubernur
Basuki Tjahaja Purnama mengaku tidak menandatangani Instruksi tersebut.
Meskipun di dalam website resmi Pemprov DKI terlihat jelas, file
Instruksi Gubernur ditandatangani Ahok pada pada 17 Juli 2014 saat itu
ia menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta 

“Oleh
karenanya Instruksi Gubernur ini patut diduga sebagai Instruksi Gubernur
liar,” jelas Mustofa dalam siaran persnya (Sabtu, 27/9).

Namun
ironisnya, oleh pejabat di lingkungan DKI Jakarta, Instruksi Gubernur
dianggap dokumen resmi dan ditindaklanjuti dengan membuat surat edaran
resmi ke tingkat bawah termasuk ke sekolah-sekolah, yang menyebabkan
ketidakpastian umat Islam untuk beribadah.

Kedua, lanjut
Mustofa, akibat munculnya Instruksi Gubernur tersebut, suasana khas Idul
Adha di Jakarta kini menjadi lenyap, penjual kambing dan sapi menjauh,
hewan menjadi mahal, dan menyebabkan kesulitan bagi Umat Islam untuk
mendapatkan hewan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sekolah
Pendidikan Dasar yang menjadi dasar pendidikan akhlak seperti yang
dimiliki Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim, kini ketakutan menyembelih
kambing karena ada larangan. Sekolah SMP dan SMU harus mengurus prosedur
standard penyembelihan kurban yang belum tentu lolos.

“Akibatnya,
harus  memotong hewan di RPH (Rumah Pemotongan Hewan)  yang ditunjuk 
dalam Instruksi Gubernur tersebut. Padahal, tidak mungkin RPH akan mampu
melayani kebutuhan penyembelihan. Apalagi, prosesi penyembelihan hewan
kurban di Hari Raya Idul Adha jelas tidak bisa dilakukan seperti
penyembelihan di hari biasa. Ada ritualnya. Intinya, Instruksi Gubernur
67/2014 telah menghambat Umat Islam dalam beribadah,” ungkapnya.

Ketiga,
munculnya Instruksi Gubernur 67/2014 diingkari Ahok. Malah, Ahok
sendiri mengaku tidak mengetahui adanya Instruksi Gubernur. “Terbukti
ada hal yang cukup aneh, dimana yang  bersangkutan  mengatakan bahwa isi
Instruksi Gubernur tersebut hanya berisi larangan memotong unggas di
kampung-kampung. Padahal, jelas isinya larangan menyembelih hewan di
sekolah,” beber Mustofa.

Keempat, jika benar sekalipun, isi
Instruksi Gubernur 67/2014 tetap tidak adil. Nuansa Idul Adha Jakarta
bisa hilang gara-gara Instruksi Gubernur. Namun hal serupa tidak terjadi
pada perayaan Tahun Baru, dimana orang dibebaskan menjual terompet,
berpesta mengotori Jakarta, bahkan bermaksyiat semalam suntuk.

“Pemprov
malah memfasilitasi Perayaan Tahun Baru yang bukan tradisi asli
penduduk setempat bahkan bukan tradisi asli Indonesia. Instruksi
Gubernur tersebut tidak adil karena terkesan menghina umat Islam yang
akan beribadah,” tegas Mustofa.

Kelima, Instruksi Gubernur ini
menimbulkan banyak fitnah dan bermacam opini miring terkait perubahan
kebijakan yang terjadi di Jakarta khususnya yang menyangkut kepentingan
rohani mayoritas pemeluk Islam di Jakarta.

“Untuk itu, saya
mengajak warga Jakarta khususnya umat Islam yang akan melaksanakan
Ibadah Kurban agar mendesak kepada siapapun yang memiliki kewenangan
untuk mencabut Instruksi Gubernur 67/2014 demi menjaga hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari,” demikian Mustofa. [sp/rmol]