Hadits-Hadits Tentang RU’YAT, ISTIQDAR DAN ISTIKMAL Dalam Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan

Pelaksanaan peribadatan dalam Islam, khususnya ibadah mahdhah sudah ditentukan waktu dan tempatnya. Penetapan waktu-waktu tersebut didasarkan atas posisi  bulan atau matahari terlihat dari bumi. Untuk mengawali dan mengakhiri ibadah shaum Ramadhan
misalnya, ditetapkan berdarkan posisi bulan terlihat dari bumi. Sedangkan  batas waktu hariannya (imsak – ifthar), ditetapkan berdasarkan posisi matahari terlihat dari bumi, dianalogkan dengan waktu shalat shubuh dan maghrib.
Untuk mengetahui posisi bulan dan matahari tersebut dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan khususnya, dijelaskan dalam sejumlah periwayatan hadits yang beragam baik sanad maupun matannya, serta terkodifikasikan dalam beberapa kitab hadits standard.
  1. `Abdullah ibn ‘Umar, r.a. dengan rawi-rawi:
1) Malik ibn Anas (93-179);
2) `Abd al-Razaq(126-211);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi’I (150-204);
4) Ahmad ibn Hanbal (164-267);
5) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235);
6) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
7) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
8) Abu Dawud al-Sijistani (202-275);
9) Muslim ibn al-Hajaj (206-261);
10) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Ibn Majah (207-275);
11) Abu Ya`la, Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
12) Ahmad ibn Syu`ayb al-Nasa’i (215-303);
13) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
14) Muhammad ibn Hiban (w. 354); 15) Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);
16) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
17) Ahmad ibn al-Husayn Abu Bakr al-Bayhaqi (384-358).
  1. `Abdullah ibn `Abbas, r.a. dengan rawi-rawi :
1) Malik ibn Anas (93-179);
2) `Abd al-Razaq (126-211);
3) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
4) `Abd Allah ibn al-Zubayr al-Humyadi (W. 219);
5) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) `Abd Allah ibn `Abd al-Rahman al-Darimi (181-255);
8) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282);
9) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
12) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
13) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa’i (215-303);
14) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
15) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
16) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
17) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);
18) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
19) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
  1. Abu Hurayrah, r.a.  dengan rawi-rawi:
1) `Abd al-Razaq (126-211);
2) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi’I (150-204);
4) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
5) Ibnu Rahawayh, Ishaq ibn Ibrahim (161-238);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235);
8) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
9) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini (207 – 275);
12) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
13) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
14) `Abd Allah ibn `Ali ibn al-Jarud (w.307);
15) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa’i (215-303);
16) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
17) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
18) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
19) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
20) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
  1. `Aisyah r.a., dengan rawi-rawi:
1) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
  1. Huzhaifah r.a. dengan rawi-rawi:
1) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) Muhammad ibn Hiban (w. 354); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).
  1. Thalaq ibn `Ali, r.a. dengan rawi-rawi:
1) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
2) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).
  1. Jabir ibn `Abd Allah, r.a. dengan rawi:
1) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307); dan
2) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458)
  1. `Umar ibn al-Khathab r.a. dengan rawi:
Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458)
  1. Abu Sa`id al-Khudri, r.a. dengan rawi:
Al-Rabi` ibn Habib ibn `Umar al-Azda.
10.  Al-Hasan, r.a. dengan rawi:
`Abd al-Razaq (126-211).
11.  Abu Bakrah, r.a. dengan rawi:
1) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
2) Aòmad ibn Òanbal (164-267); dan
3)Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
12.   Rafi ibn Khudayj r.a. dengan rawi:
`Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385).
13.  Ash-hab Muhammad Rasulullah saw. dengan rawi-rawi:
1) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282); dan
2) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa’i (215-303)
Dengan keragaman redaksi matan, sebagai yang terlampir dalam bentuk matrik.
Akan tetapi, sesuai dengan kebutuhan (sudah dipandang refresentatif)
analisis hanya dilakukan kepada hadits-hadits yang bersanadkan: 1) `Abd
Allah ibn `Umar; 2) `Abd Allah ibn `Abbas; dan Abu Hurayrah.
Riwayat bi al-Ma`na atau al-Ziyadah `an al-Rawi; Penafsiran Rawi Al-Hadits
Dengan melihat struktur redaksi yang demikian beragam, mengindikasikan bahwa dalam periwayatan hadits-hadits tersebut terjadi riwayat al-hadits bi al-ma`na. Hal ini berarti, terjadi intervensi subjektivitas rawi.
Dalam hal ini, terjadi dua hal:
  1. struktur redaksi semata, karena adanya perbedaan tarikh mutun al-hadits menyangkut pengalaman dan pengetahuan rawi terhadap hadits yang diriwayatkannya.
  2. menyakut substansi,  karena dipengaruhi oleh faham dan penafsiran (madzhab rawi).
فإن غم عليكم فأكملوا  العدة ثلاثين (الشافعي، البخاري)
Menurut penilaian Ibn `Abd al-Bar, dari hadits-hadits yang bersanadkan `Abd Allah ibn `Umar adalah matan “”فاقدروا له;
والمحفوظ في حديث ابن عمر فاقدروا له (التمهيد: 14338)
Ulama hadits terpeta dalam 3 kelompok: 1) ada yang menolak riwayat bi al-makna secara mutlak; 2) ada yang menerima secara mutlak; dan 3) ada yang menerima secara bersyarat.
Syarat-syarat yang dimaksud terkait dengan kridibelitas rawi, terutama pengetahuan dan intelektualias rawi.
Ragam Penafsiran terhadap “Faqduru Lahu/Faqdirulah
Secara
etimologis, Uqdur berarti “tetapkanlah” seperti dlm hadits istikharah
“فاقدره لي ويسره”, juga berarti: lihatlah dan pikirkanlah, seperti dalam
hadits “فاقدرو قدر الجارية الحديثة السن” dan juga berarti sempitkanlah
seperti dalam ayat “فقدر عليه رزقه”
Jumhur  : hadits
tersebut bersifat  mujmal “lahu”, antara hilal, bulan Sya’ban atau
Ramadhan karena itu diperlukan bayan dari hadits lain yang mufassar,
yakni hadits-hadits yang mengharuskan dilakukannya istikmal. Sehingga
“faqduru lah” berarti istikmal bulan Sya’ban atau Ramadhan.
Ahmad ibn Hanbal: Mempersingkat (menyempitkan) masa bulan Sya’ban, sehingga menjadi 29 hari.
Sebagian Fuqaha Bashrah: Mengamati, meneliti dan menghitung-hitung posisi bulan.
Ibn Syurayj dari Syafi’iyah: Faqduru lahu dan Istikmal memiliki dua sasaran yang berbeda;
Faqduru lahu : untuk orang Khawash dengan melakukan perhitungan posisi bulan dan matahari.
Fa akmilu … : untuk orang `Awwam dengan istikmal bulan Sya’ban menjadi 30 hari
Ibn
‘Umar r.a. : Jika hilal tidak terlihat karena mendung pada malam 30
Sya’ban, esok harinya ia berpuasa. Akan tetapi jika hilal tidak terlihat
sedangka cuaca cerah, esok harinya belum berpuasa, puasa baru
dilakukannya lusa hari (istikmal).
قال
نافع فكان عبد الله إذا مضى من شعبان تسع وعشرون يبعث من ينظر فإن رؤى
فذاك وإن لم ير ولم يحل دون منظره سحاب ولا قتر أصبح مفطرا وإن حال دون
منظره سحاب أو قتر أصبح صائما
  • راوي الحديث يفي المتقدم وعمله به تفسير له
  • عن عائشة أنها قالت : لان أصوم يومأ من شعبان أحب إلي من أن أفطر يوما من رمضان
  • العبرة برأي الراوي لا بروايته لزم الاخذ به كالحنفية
Rukyat atau Istikmal v.s. Hisab Kriteria Wujud al-Hilal
Menurut
jumhur fuqaha, sekalipun awal bulan itu dapat diketahui melalui proses
perhitungan dan bantuan peralatan teknologi, namun untuk menentukan
waktu-waktu peribadatan (puasa dan haji) hanya boleh dengan cara rukyat
saja.
Òarf lam dalam matn hadis “èûmû li ru’yatih” adalah “li al-ta‘lîl”
sehingga dipahami menjadi berpuasalah kalian “karena” melihat hilal.
Keterlihatan hilal menjadi ‘illat (sabab al-hukmi) adanya keharusan
berpuasa dan berbuka (‘îd al-fiùri), sebagai yang ditegaskan oleh al-Mubarakfuri[1]
قوله صوموا لرؤيته أي لأجل رؤية الهلال فاللام للتعليل والضمير للهلال على حد تورات بالحجاب اكتفاء بقرينة السياق
Redaksi matan hadits-hadits ru`yat al-hilal, taqdir dan istikmal, dalam perspektef Ushul al-Fiqh (qawaid lughawiyah)  dapat dikelompokkan dalam tiga redaksi matn:
 Pertama,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Huruf “lam” pada kata “li ru’yatih” yang sebenarnya buknlah lam li al-ta‘lîl yang menunjukkan sebab.
Akan tetapi menurut Al-Ùaybi “li al-waqti, li al-tawqît”[2] dan Ibn Daqîq al-‘Id “li al-ta’qît” yang menunjukkan waktu secara majaz;. Sehingga
perintah dalam hadis tersebut berarti: berniatlah berpuasa pada saat
hilal sudah terlihat atau dengan kata lain berpuasa sesudah hilal
terlihat. Sebaliknya, jika lam li al-ta‘lîl maka perintah tersebut lanjut Ibn Daqîq al-‘Id berarti, berpuasa sebelum hilal terlihat[3].
Analisis al-Thaybi atau Ibn Daqiq al-Id tersebut, didukung oleh
keberadaan hadits-hadits lain yang menggunakan redaksi matan yang
bervariasi dan tidak menggunakan huruf “lam”, sebagai yang sudah
disebutkan di atas. Redaksi yang kurang lebih sama, terdapat pula dalam
perintah shalat
Jika
hadits-hadits di atas dipahami sebagai perintah (tidak langsung)
melihat hilal untuk mengetahui waktu dimulai dan diakhiri berpuasa, maka
ayat tersebut pun merupakan perintah untuk melihat matahari untuk
mengetahui waktu-waktu shalat.
Dengan demikian, keterlihatan hilal sama sekali tidak menjadi sabab al-hukmi berpuasa atau berlebaran, melainkan hanyalah pertanda waktu saja.
Jika keterlihatan hilal bukan sabab al-hukm,
lalu apa yang sesungguhnya yang menjadi sabab yang mengharuskan bepuasa
atau berbuka itu? Bukankah setiap perbuatan hokum di samping memiliki syarth al-hukm juga memiliki sabab al-hukm? Jika hadits-hadits tersebut, dipahami secara utuh maka yang menjadi sabab al-hukm adalah keberadaan (wujûd al-hilâl). Pada saat dilakukan istikmâl,
hilal tidak terlihat, tetapi berpuasa atau berbuka (hari raya) sudah
wajib karena hilal (pertanda bulan baru) sudah dapat dipastikan
(diyakini) sudah wujud; sudah terjadi perpindahan bulan, dari bulan
Ramadhan ke bulan Syawal. Kepastian itu diperoleh, karena tidak ada
tanggal/hari ke-31 pada bulan-bulan Qamariyah, sesuai dengan ketetapan
Allah dan Rasul-Nya.  Jadi dengan demikian yang menjadi sabab al-hukm adalah wujûd al-hilâl bukan ru’yat al-hilal. Hal ini sejalan dengan pengertian sabab al-hukmi menurut Ushul fiqh,
ما يلزم  من وجوده الوجود ومن عدمه العدم لذاته[5]
atau dalam rumusan yang lebih jelas:
ما يستلزم من وجوده وجود الحكم ومن عدمه عدم الحكم
Sedang untuk dapat mengetahui waktu-waktu itu, saat ini tidak harus dengan ru`yat saja. Ru’yat al-hilal hanyalah
salah satu cara untuk mengetahui waktu, bukan substansi atau bagian
integral dari ibadah shaum, sama halnya dengan melihat matahari untuk
mengetahui waktu-waktu shalat.
Kedua,
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
Keterlihatan hilal sebagai yang disebut dalam matan hadits di atas, bukanlah syarth al-hukm (syarat wajib berpuasa atau berbuka), sekalipun diawali dengan kata “idza”.
Karena kelanjutan dari matan hadits tersebut menjelaskan sekalipun
hilal tidak terlihat,  manakala bulan sudah 30 hari menjadi wajib
berpuasa atau berbuka. Jika keterlihatan hilal itu menjadi syarat,
niscaya ketika tidak terlihat tidak ada kewajiban berpuasa atau berbuka,
sebagai yang ditegaskan al-Qarafi bahwa yang disebut syarat itu,
بأن الشرط يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم لذاته
atau dalam rumusannya yang sederhana:
مالا يستلزم من وجوده وجود الحكم و يستلزم من عدمه عدم الحكم
Ketiga,
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدد العدة ثلاثين
Dengan matan hadits ini pun, tidak dapat dipahami sebaliknya (dalalah mafhum mukhalafah) karena ada kata “hatta”  (mafhum ghayah);
manakala hilal belum terlihat menjadi tidak wajib berpuasa dan berbuka.
Karena pemahaman sebaliknya bertentangan dengan penjelasan dari
kelanjutan matan tersebut yang secara langsung dan tegas  menunjukkan (dalalah manthuq) sekalipun tidak terlihat manakala bilangan bulan sudah tiga puluh (hasil istikmal), tidak bisa tidak kecuali harus berpuasa atau berbuka.
Mengingat
keterlihatan hilal itu bukan sebab dan juga bukan syarat keharusan
berbuka dan berpuasa, tetapi yang menjadi sebab itu adalah keberadaan
hilal (wujud al-hilal), maka kriteria hisab pun tidak harus “dianalogkan” dengan ru`yatul hilal dengan menetapkan kriteria imkan al-rukyat. Itulah sebabnya, kriteria hisab yang diambil oleh Muhammadiyah adalah kriteria wujûd al-hilâl.
 oleh Drs. Dadang Syaripudin MA. ( Wakil Ketua PWM Jawa Barat ) 

[1] Muhammad ‘Abd al-Raòmân ibn ‘Abd al-Raòîm al-Mubarakfuri. Tuòfaú al-Aòwaíi bi Šarò Jâmi‘ al-Turmuíî. (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.) (10 Juz).
[2] ‘Abd al-Rauf al-Manawi. Fayæ al-Qadîr Šarò al-Jâmi‘ al-Èagîr. (Mièr: Al-Maktabaú al-Tijâriyaú al-Kubra. 1356). Cetakan Pertama. (6 Juz). Juz IV. hlm. 214.
[3]Lihat Taqiy al-Dîn Abû al-Fatò ibn Daqîq al-‘Îd, Iòkâm al-Aòkâm Šarò ‘Umdaú al-Aòkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyaú, t.th.) Juz ii, hlm. 205-207; Muhammad ibn ‘Ali al-Šawkânî, Nayl al-Awùâr Šarò Muntaqâ al-Aóbar, (Bayrût: Dâr al-Jayl. 1973), Juz IV, hlm. 264, 351.
[4] Q.S. al-Isra [17]: 78. uraian dan penjelaannya lihat: Tafsîr al-Bayæawî, Juz III/hlm. 80; Juz III/hlm. 462; juz V/hlm 348. Tafsîr Abî Su‘ûd, Juz V/hlm: 189; Tafsîr Rûò al-Ma‘ânî, Juz IIi/hlm 131; Juz XV/hlm 132.
[5]
Lihat: `Abd Allah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi. Rawdhah al-Nadhir.
Al-Riyadh: Jami`ah al-Imam Muhammad ibn Su`ud.1399. Cetakan Kedua. Hlm.
57. C.f. `Ali ibn `Abd al-Kafi al-Subki. Al-Ibhaj. Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah.1404. Cet. Pertama. Juz I. Hlm. 206.