Benci yang Menjadi Cinta, Kisah Mualaf Nina

Perempuan yang menjadi dosen di Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga (FK Unair) Surabaya ini terbilang ramah. Terlebih
dengan usianya yang sudah di kepala lima. Jilbab yang membalut kepalanya
mengukuhkan dia sebagai Muslimah. Hanya, tak banyak yang tahu jika Nina
– sapaan akrabnya – bukan terlahir sebagai Muslimah. 
Masa kecil Indah Purnamawati dipenuhi dengan dogma agama. Kehidupan
keluarga yang taat pada ajaran Katolik membuat imannya mantap. Hanya,
rasa ingin tahu terhadap Islam timbul pada diri Indah yang membuat jalan
hidupnya berubah selamanya.
Perempuan yang akrab disapa Nina ini terlahir sebagai Katolik. Sejak
TK hingga SMP, ia selalu mengenyam pendidikan di sekolah Katolik. Ketika
duduk di bangku SMA, ia bersekolah di SMA negeri. Saat itu, matanya
terbuka, ternyata ia hidup menjadi minoritas di antara banyak kawannya
yang Muslim.
Saat menghadapi syok karena melihat kebiasaan baru agama lain, ia
sering penasaran. Misalnya, ia melihat ada temannya yang membawa mukena
ke sekolah dan mengetahui apa saja ibadah wajib yang harus dilakukan
oleh umat Islam. “Saya dulu melihat, kok Islam itu ribet banget, ya,”
ujarnya kepada RoL, pekan lalu.
Ia juga dekat dengan lelaki Muslim, yang kemudian menjadi kekasihnya
kala itu. Pria ini selalu mengiringnya agar ia masuk menjadi Muslim.
“Saya tidak suka dengan cara seperti ini sehingga saat itu saya jadi
benci setengah mati dengan Islam,” katanya.
Namun, saat duduk di kelas dua SMA, ia justru mulai tertarik dengan
Islam. Rasa penasarannya yang sangat tinggi membuatnya banyak belajar
hal baru dan informasi-informasi mengenai Islam. “Bahkan, saya
iseng-iseng ikut pelajaran agama Islam juga,” ujarnya.
Saat itu, ketika datang waktu ulangan pelajaran agama Islam, ia harus
mencontek juga belajar menghafal mati-matian agar tidak terlalu jelek
nilainya. Ketika masa kuliah, ia semakin dekat dengan Islam. Teman
indekos sekamarnya Muslim yang taat dan banyak mempunyai buku agama yang
menarik perhatiannya. “Awalnya ngumpet-ngumpet baca buku agama teman
saya ini dan lama-lama tertarik,” kata Nina.
Banyak pengetahuan baru yang didapatnya ketika mempelajari Islam.
Salah satunya adalah kenyataan Allah itu bersifat esa dan tidak
diperanakkan. Setelah banyak membaca buku agama  Islam, rasa ingin
tahunya semakin besar. Ia akhirnya berani membuka Alquran yang di
dalamnya ada terjemahannya. “Melihat bahasanya, saya nggak ngerti sama
sekali,” ujarnya.
Namun,  ia tidak menyerah. Ia terus membuka Alquran dan membaca
buku-buku agama. Melalui proses yang panjang, Nina akhirnya merasakan
mendapatkan hidayah. Hingga ia minta diajarkan shalat oleh teman. Pada
1983, ia akhirnya mantap mengucapkan syahadat di depan teman-teman juga
ustaz yang membimbingnya.
Awalnya, Nina menyembunyikan identitas barunya sebagai Muslim apalagi
di depan keluarga. Karena, ia tahu keluarganya adalah penganut Katolik
yang taat. Suatu hari, keluarganya akhirnya mengetahui juga. Saat itu,
orang tuanya melihat ia sedang shalat. Ia pun kemudian dimarahi
habis-habisan oleh bapaknya. “Saat dimarahi itu, saya ya diam saja
terus,” katanya.

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
dimuat di republika