Militerisme Membajak Demokrasi Mesir

Berita mengejutkan datangnya dari Mesir itu hampir tidak ada gaungnya di Indonesia. berita buruk dari Negeri Nil seolah lenyap bersama angin, hanya ada kepulan “awan tipis” menghimbau kesadaran dan solidaritas masyarakat indonesia yang kemudian lenyap tanpa bekas.
Berita itu bukan sekadar
mengejutkan, tetapi juga tidak masuk akal. Bacalah kembali: Pengadilan di
Minya, di kawasan selatan Kairo pada 25 Maret lalu menjatuhkan hukuman mati
secara massal kepada 528 para pendukung Presiden Mohammad Mursi yang notabene
merupakan anggota atau simpatisan organisasi al-Ikhwan al-Muslimun (IM).

Mereka dijatuhi hukuman mati atas tuduhan menyerang pos polisi Minya pada
Agustus 2013. Serangan ini selain menewaskan para penyerang, juga wakil kepala
polisi Minya. Hanya 147 tertuduh yang hadir di pengadilan; selebihnya dijatuhi
hukuman mati secara in-abstentia.

Proses ini nampalknya bukan pengadilan; tetapi penetapan hukuman. Para
tersangka yang dikurung dalam ruang kecil kotak berkawat rapat tidak diberi
waktu membela diri. Para tersangka disediakan pembela yang tidak dibenarkan
membantah ‘bukti’ yang diajukan negara lewat jaksa. ‘Pengadilan’ menghabiskan
waktu kurang dari satu menit bagi setiap tersangka, yang digunakan hakim tanpa
basa basi untuk langsung menetapkan hukuman mati.

Karena itu tidak mengherankan jika Amnesti Internasional menyebut sidang tersebut
sebagai ‘pengadilan’ sesat yang sama sekali menyimpang dari logika akal sehat.
Sidang itu tidak dapat disebut pengadilan karena gagal memenuhi standar dasar
keadilan. Hasilnya, penetapan hukuman mati tidak lain adalah keputusan sesat
pengadilan yang didikte diktator militer yang menyembunyikan diri di balik
pemerintahan ‘sipil’ interim pimpinan ‘Presiden’
Mansour Adly.

Banyak pengamat internasional tentang Mesir menyatakan, penetapan hukuman mati
itu adalah salah satu bukti terburuk ‘pembajakan’ demokrasi (democracy hijacking) oleh militer. Seolah ‘cuci tangan’
dari militerisme yang mengambilalih kekuasaan dari Presiden Mursi yang terpilih
secara demokratis, Jenderal Abdel Fatah El-Sissi mempurnawirawankan diri.
Dengan begitu, dia dapat menyertai demokrasi prosedural lewat Pilpres yang
direncanakan berlangsung dan dimenangkannya pada 26-27 Mei 2014 nanti. Inilah
‘pembajakan’ demokrasi.

Ironi dan tragedi tengah mengejawantahkan diri di Mesir. Militerisme kembali ke
panggung kekuasaan dengan memanfaatkan kekeliruan Presiden Mursi melakukan
‘ikhwanisasi’ begitu berkuasa. Adalah El-Sissi melalui jaringan militer
mendorong bangkitnya kekuatan anti-Mursi dan anti-IM, yang kemudian dijadikan
alasan menggusur Mursi dari kursi kepresidenan.

Cerita selanjutnya adalah zero-sum-game, permainan
hidup mati ala militer. Para pimpinan IM dijebloskan ke penjara; sekitar 1.200
orang—termasuk Mursi—telah, sedang atau bakal diajukan ke pengadilan dengan
tuduhan melakukan kekacauan atau memprovokasi massa. Mereka bisa dipastikan
tidak bakal mendapat keadilan. Lalu kantor dan gedung IM disegel, aset
keuangannya dibekukan, dan bahkan dinyatakan sebagai ‘organisasi teroris”.
Tidak ada kompromi atau akomodasi dari pihak militer yang memungkinkan kelak
terbukanya pintu rekonsiliasi.

Sayangnya, tidak banyak masyarakat dunia dan pemerintah negara yang peduli
dengan kembalinya militerisme ke puncak kekuasaan Mesir. Mereka seolah
membiarkan Mesir dalam keadaan limbo untuk terjerumus masuk abyss—lubang dalam hitam-kelam tidak berdasar.

Jika banyak lembaga internasional—semacam Amnesti Internasional—beserta
pemerintahan negara-negara Barat mengecam keras keputusan hukuman mati massal
tadi, hampir tidak terdengar suara dari lembaga dan pemerintahan di kawasan
Dunia Muslim. Media massa internasional melaporkan, hanya PM Turki Tayyip Recep
Erdogan, yang juga sedang menghadapi Pemilu sela menyempatkan diri mengutuk
penjatuhan hukuman mati itu.

Pemerintah Indonesia kelihatan juga bungkam seribu bahasa. Hanya MUI lewat
salah satu pimpinannya Anwar Abbas, mengatasnamakan ulama Indonesia, mengecam
penetapan hukuman mati itu. Juga ada beberapa ormas dan kelompok Islam non-arus
utama yang mengecam keras. Selebihnya nampak tidak peduli.

Jika pemerintah Indonesia mati-matian memperjuangkan pembatalan hukuman mati
untuk TKW Sutinah di Arab Saudi dengan membayar diyat tak sedikit, sekitar Rp
9-10 milyar, apakah tidak pada tempatnya juga memperlihatkan solidaritas
kemanusiaan kepada warga Mesir? Tidakkah patut jika Presiden SBY mengirim
utusan khusus untuk memperbaiki kenestapaan dan keaniayaan itu?

Jika pemerintah Indonesia (dan juga MUI dan ormas Islam lain seperti NU,
Muhammadiyah dan semacamnya) mau, kesempatan masih ada karena keputusan hukuman
mati itu kini sedang dibawa kepada pemegang otoritas keagamaan tertinggi Mesir,
Grand Mufti al-Azhar; apakah hukuman mati itu dia
setujui atau tolak. Hukuman tetap (inkraag) bakal ditetapkan
pada 28 April. Jadi, masih ada waktu bagi pihak yang memiliki leverage (daya tekan, seperti pemerintah, dan ormas) melakukan
lobbi dalam usaha menyelamatkan kemanusiaan.

Oleh: Azyumardi Azra ( resonansi / republika.co.id )