Elegi Muslim Minoritas : Kematian Sepasang Suami Istri

Malam ahad, (11/5/2014) ketika asyik bersantap malam tiba-tiba handphone bergetar. Saya lihat ada panggilan masuk dari seorang relawan Gerakan Dana Ta’awun (GDT) PCPM Minggir, Didin. Dia menceritakan butuh ambulan untuk mengangkut jenazah. Lalu ia bercerita tentang kematian sepasang suami istri yang hampir bersamaan. Sehingga butuh dua ambulan. Sebab kematian pastinya saya tidak tahu, hanya menjadi begitu heroik karena keduanya adalah mualaf dan tinggal di wilayah mayoritas Katolik. Butuh ambulan karena memang biasanya sedikit yang mau mengantar jenazah ke makam apalagi ini dua orang.
Saya mencoba menghubungi temen-temen Laskar Sedekah, tapi saat itu ambulan mereka sedang digunakan. Akhirnya saya menyampaikan ke Didin, jika terpaksanya tidak ada ambulan gratis, bisa diusahakan meminjam ambulan yang ada dan biaya akan ditanggung oleh GDT PCPM Minggir. Sampai pemakaman siang tadi. Belum ada laporan lebih lanjut dari Didin.

Iringan ambulan yang membawa Jenazah Suami-Istri
Kisah ini nyata dan tidak jauh dari kita. Tidak perlu ke Papua atau NTT. Ini ada di tanah Jawa. Cerita semacam ini tak langka. Jika Anda pernah mendengar metode kristenisasi dengan pola ‘makan bubur’ tentu akan paham bahwa daerah pinggiran menjadi target jitu. Sleman bagian barat, meliputi daerah bantaran sungai Progo merupakan lahan subur bagi para ‘Penggembala Domba’. Kristenisasi pernah berjaya di sana. Tidak heran jika terkadang, bila ada muslim yang meninggal di daerah minoritas harus mendapat pilihan pahit: urus sendiri jenazah dengan cara muslim atau kami kuburkan dengan cara non-muslim. Jika di kampung itu tidak ada yang bisa dengan cara muslim, maka relalah mengikuti cara mereka. Apalagi jika yang meninggal adalah mulaf, tentu akan semakin rumit ceritanya.

Beruntung ada sebagian yang masih peduli, beberapa Ustadz yang konsen dalam hal pembinaan mualaf telah mengikhlaskan waktu untuk mengurusi kebutuhan ini. Jika ada muslim yang meninggal, maka merekalah yang mengurusi. Dari proses memandikan, menshalatkan, mencari tempat pemakaman hingga selesai pemakaman. Menjadi mualaf memang tidak mudah, seringkali kita begitu bahagian melihat saudara yang masuk Islam, tetapi kemudian membiarkan mereka dalam ketidakberdayaan baik secara ekonomi maupun sosial. Mereka dikucilkan dari komunitas lama, sedang kaum muslim masih enggan merangkul mereka. Jadilah mereka serba salah. Dalam beberapa kisah, kemudian mereka kembali ke agama lama.

Beberapa tahun lalu, PCPM Minggir merintis Forum Kajian Sabilul Muhtadin (FKSM) yang bermaksud mengakomodasi para mualaf di Yogya Barat dan Kulon Progo. Kajian itu sampai kini tetap berlanjut bekerjasama dengan Yayasan Arrohmah, Yaumu dan lembaga lainnya.

[sp/pcpmminggir]