Catatan Soal Air Kemasan “Haram” ( Statement Prof. Din Syamsuddin )

Beberapa hari ini media social sempat diramaikan oleh pemberitaan soal statement yang disampaikan Prof. Din Syamsuddin pada saat Pembukaan Munas Tarjih di Palembang tentang “Haram” nya Air Kemasan. Sumber utama berita tersebut hanyalah dari media online merdeka.com dan sesuai informasi yang kami peroleh dari peserta Munas Tarjih bahwa media tidak memuat utuh pernyataan Prof. Din Syamsuddin sehingga hanya penggalan kalimat yang multi tafsir.

Kronologisnya
Pernyataan itu disampaikan di sela-sela sambutan “Upacara Pembukaan
Munas Tarjih” (Munas Alim Ulama dan Cendekia dalam Muhammadiyah). Semula
beliau mau mengkritisi Munas, sebagai yang sampai kepada beliau temanya
Fikih (difikir tentang fikih menyoal syarat dan rukun saja sebagai ada
pada fikih klasik) tetapi setelah beliau baca draft, ternyata “Fikih”
yang akan dibahas di Munas itu Fikih dalam artian luas”,

Bahkan
tema dari Munas tersebut: “Fikih Berkemajuan untuk Pencerahan
Peradaban”, dengan satu topik bahasan Fikih Air. Nah, relevan dengan
Fikih Air (dalam draft setebal 55 halaman ini, yang dibahas bukan
Thoharoh, Najis,hadats air musta`mal) tetapi isinya : Pandangan Islam
tentang Air, Pengelollan Sumber Daya Air (Nilai dasar (aspek teologis),
prinsip-prinsip umum (aspek filosofis) dan dasae hukum (aspek legal),
dan Prilaku Pemeliharaan Air.

Nah dalam rangka merespon dengan
penuh kegembiraan, di sela-sela sambutan beliau sampaikan
pikiran-pikirannya itu: 1) Air yang digunakan untuk berwudhu dalam fikih
klasik itu 2 kulah, bagi saya (kata pak Dien) sekalipun sudah 2 kullah
kalo kotor (banyak bakteri, virus dll seperti yang dia alamai sewaktu di
India, dia lebih memilih tayamum saja. 2) wudhu harus menghemat cukup
sekali saja kalo wudhunya di keran tidak harus 3 kali, kemudian sambil
berseloroh berani gak tarjih memfatwakan demikian ………???? 3)
Sumber mata air itu milik umum (dalam fiqh disebut umumul Balwa ) tidak
boleh dikuasai dan diperjualbelikan, apalagi sampai dikuasai oleh pihak
Asing dan bagi saya air kemasan semacam ( menyebut merk asing ) itu
haram, walau tadi secara tidak sadar saya telah meminumnya, darurat saja
( sambil diiringi tawa peserta Munas ). Nah kira-kira munas bisa gak
sampai melahirkan keputusan itu.

Namun esoknya oleh media merdeka.com muncul judul statement Pak Din “Bagi saya, air minum kemasan itu haram!”. Biar bagaimanapun pernyataan
pak Din yang seperti itu menjadi wajar untuk disalahfahami. Namun
terlepas dari itu, akhir-akhir ini entah kenapa pak Din sering muncul di
media, dari pak Din diberitakan menjadi ketua MUI, Pak Din mau mejadi
cawapres Prabowo dan yang terakhir soal fatwa air minum kemasan. Apakah
ini ada hubungannya dengan tahun politik 2014?  wallahu a’lam

Haram itu ada 2, haram lidzatihi dan haram lighairihi.
Haram lidzatihi adalah haram dikarenakan dzatnya, misalnya dalam alquran
Allah mengharamkan mengkonsumsi daging babi, maka daging babi adalah
haram lidzatih. Sedangkan haram lighairih adalah haram bukan pada
dzatnya, namun pada sebab lain. Misalnya uang hasil mencuri, uang itu
hukumnya mubah, tidak ada satu ayat atau hadits pun yang mengatakan
bahwa uang itu adalah barang haram, namun dikarenakan uang didapat dari
mencuri, maka uang tersebut dikatakan haram lighairihi.

Pernyataan
pak Din yang menyatakan bahwa air minum kemasan itu haram jelas bukan
haram lidzatih, karena dalam nash pun air itu seluruhnya halal, kecuali
air minuman keras. Namun yang dimaksud pak Din adalah haram lighairihi,
yakni air minum kemasan itu haram dikarenakan ada sebab lain atau haram
lighairihi. Pertanyaan selanjutnya apa sebab yang membuat pak Din
menyatakan bahwa air minum kemasan itu haram? Jawabannya adalah karena
air minum kemasan yang dimaksud pak Din dikelola oleh swasta, bukan
negara. Pada awalnya sektor-sektor strategis dikelola oleh negara
sebagai implementasi dari pasal 33 UUD 1945. Namun dikarenakan ada
mismanagement dari BUMN-BUMN yang mengelola sektor strategis tersebut,
akhirnya kepemilikan BUMN itu dialihkan kepada pihak swasta, inilah yang
disebut dengan privatisasi. Pihak swasta yang dimaksud adalah
perusahaan-perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Kalau
kita membaca hadits Rasulullah, maka disebutkan kaum muslim itu
berserikat dalam 3 hal, yakni air, api dan padang rumput. Maksudnya
adalah bahwa sumber daya air seperti sumur, kemudian api, dan padang
rumput yang digunakan untuk menggembala itu tidak boleh dimiliki oleh
perorangan, melainkan harus jadi milik bersama. Untuk api dalam teks
hadits tersebut, ada yang mengartikan menjadi sumber energi untuk
konteks kekinian, misalnya minyak bumi dan batu bara. Mengapa hal-hal
tersebut dikatakan harus dimiliki bersama? Jawaban sederhananya karena
hal-hal tersebut adalah benda-benda yang menjadi hajat hidup orang
banyak. Jika dimiliki oleh perorangan dan menjadi barang ekonomis, maka
dikhawatirkan kesejahteraan masyarakat akan terganggu. Dalam konteks
kekinian, dikarenakan sudah ada lembaga yang bernama negara, maka yang
berhak mengelola barang-barang tersebut adalah negara melalui pemerintah
yang sah.
Jangan-jangan hadits inilah
yang menjadi inspirasi bagi pasal 33 UUD 1945.  Bunyi pasal 33 UUD 1945
sebagai berikut .
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Dari
sinilah dikenal konsep nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis.
Dahulu saat awal kemerdekaan kita, Bung Karno memerintahkan agar semua
aset-aset penjajah yang ada di Indonesia dinasionalisasi agar bisa
menjadi milik Indonesia dan digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan
rakyat. Namun beberapa dekade ke belakang, BUMN-BUMN yang mengelola
aset strategis tersebut disinyalir selalu merugi dikarenakan tidak
efisien dalam pengelolaannya. Inefisiensi ini disinyalir dikarenakan
salah urus oleh para pengelolanya. Berbeda hal nya dengan
perusahaan-perusahaan swasta yang selalu efisien karena profit oriented.
Maka muncullah pemikiran agar BUMN-BUMN yang salah urus ini
diprivatisasi atau dijual kepada swasta agar tidak terus menerus
merugikan negara. Kita bisa ambil contoh privatisasi sektor komunikasi
kepada Singapura dan privatisasi PAM kepada perusahaan asing.
Permasalahannya
adalah kebanyakan yang berminat untuk menanamkan modal ini adalah
perusahaan-perusahaan asing. Jadi yang dikhawatirkan oleh sebagian pihak
adalah hilangnya kedaulatan negara kita akibat kepemilikan
sektor-sektor strategis oleh pihak asing. Ketika pihak asing menjadi
pemilik modal, selain secara ekonomi profit perusahaan masuk ke kantong
mereka, secara politik pun kita menjadi punya daya tawar (bargaining)
yang rendah. Kita dengan investor asing tersebut tidak lagi sebagai
mitra, melainkan sebagai atasan dan bawahan.
Tentu
ada pula pihak yang tidak setuju dengan pendapat di atas, mereka
berpendapat kalau kita ngotot nasionalisasi, ya pemerintah akan terus
merugi, dan tidak akan untung-untung. Kalau seperti itu maka kembali
yang harus menanggung kerugian adalah rakyat. Lagipula di era
globalisasi ini amat naif kalau kita anti dengan investasi asing.
Salah
satu materi pembahasan Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah pada
tahun ini di Palembang adalah mengenai fiqih air. Maksudnya adalah
apakah air itu boleh diprivatisasi atau tidak? Apa manfaat dan mudharat
dari privatisasi air? Itu adalah salah satu isu yang dibahas dalam munas
tarjih selain mengenai keluarga sakinah.
Mengenai
hal ini teringat dengan skripsi salah seorang dosen yang
kebetulan juga menjadi kaprodi Ilmu Ekonomi Islam, namanya Bu Anita
Priantina. Pada tahun 2006 beliau membuat skripsi dengan judul
Privatisasi Sumber Daya Air Menurut Ekonomi Islam.
Beliau
menyatakan bahwa prinsip Dublin menyatakan bahwa air harus
diperlakukan sebagai benda ekonomi. Implikasinya pemilikan dan hak
penguasaan individuatasnya diperbolehkan. Padahal, air adalah sumber
daya yang dibutuhkan olehsemua makhluk hidup tanpa terkecuali. Air tidak
memiliki benda substitusi.
Air dalam ekonomi Islam
ditempatkan sebagai barang publik,bersama dengan rumput, api dan garam.
Air tidak boleh dimiliki secara pribadidan tidak boleh diperjualbelikan
karena khawatir akan menimbulkan kemudharatan,yaitu menghalangi
terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas air, menjadikan airmenjadi barang
mahal, dan tidak menyisakan jumlah yang cukup bagi generasiselanjutnya.
Hasil
penelitian menunjukan bahwa telah terjadi privatisasisumber daya air di
Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan kepemilikan swasta(asing)
(Thames Water International) terhadap saham BUMN pengelola air (PAMJaya)
secara signifikan – yaitu sebesar 90%- dan masuknya swasta
padapengelolaan sector public ini. Privatisasi sumber daya di Indonesia
jugadilegitimasi oleh UU SDA No. 7 tahun 2004.
Privatisasi
sumber daya air di Indonesia telah mengakibatkanterganggunya daur
hidrologi dan terhalangnya akses sebagian masyarakat terhadapair.
Ditemukan pula bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari
kebangkitanneloliberalisme secara global. Dengan demikian, maka
privatisasi sumber dayaair tidak diperbolehkan menurut ekonomi Islam.
Dengan kesimpulan di atas, penelitian ini merekomendasikanamandemen UU SDA No. 7 tahun 2004 dan mendukung upaya pengajuan judicialreview yang
kedua kepada mahkamah konstitusi. Penelitian ini jugamerekomendasikan
restrutkturisasi kebijakan ekonomi nasional, khususnyarestrukturisasi
BUMN pengelola air di Indonesia.

Kami belum bisa menebak apakah
hasil dari Munas Tarjih pada tahun ini akan sama dengan skripsi tersebut. Namun melihat gelagat pak Din, sepertinya munas tarjih
pun akan menghasilkan keputusan yang sama. Walaupun begitu tetap kami
punya kritik terhadap majelis tarjih dan pak Din, tentu kritik yang
membangun.

Kenapa dalam munas tarjih yang dibahas hanya
privatisasi air? Bagaimana dengan sektor-sektor pertambangan yang
dikuasai asing? Apakah hal tersebut sudah sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam? Memang beberapa waktu lalu Muhammadiyah sudah melakukan
judicial review terhadap UU Migas. Namun mungkin akan lebih keren kalau
ada ketetapan tarjihnya. Jika Muhammadiyah bisa memberikan respon dalam
persoalan seperti ini, maka Muhammadiyah memang bisa disebut sebagai
gerakan Islam dan berkemajuan. Di saat gerakan Islam lain masih mengurus
soal hukum jenggot, cadar, qunut dll. Muhammadiyah sudah tampil dalam
menyelesaikan persoalan kebangsaan.

Lalu kritik kami untuk Pak
Din adalah pernyataan bahwa air minum kemasan haram itu multi-tafsir dan
kurang memperhatikan konteks. kami husnuzhan kalau pak Din ingin
memberi semacam shocktherapy kepada publik agar masyarakat sadar dan
memperhatikan isu ini, sehingga beliau memilih kata-kata yang simpel
namun bombastis. Namun saran kami seperti konsep pak Kuntowijoyo, pak Din
perlu melakukan objektivikasi terhadap kata haram yang ada dalam fatwa
tersebut. Kita tahu bahwa kata haram adalah terminologi keIslaman, dan
mempunyai konotasi yang kurang baik pada sebagian pihak. Sekalipun yang
kita sampaikan benar, kalau kita menyampaikan ini haram! itu haram!
seringkali kita dianggap arogan, alih-alih yang menjadi objek dakwah
menurut, yang ada mereka malah membangkang.

Namun yang perlu kita
ingat, kata ustadz Dadang Syaripudin ( Wakil Ketua PWM Jawa Barat ) dalam ilmu fiqh, ada 3 jenis
ketetapan hukum, yaitu qanun, qadha dan fatwa. Qanun ini bisa diartikan
undang-undang, sifatnya mengikat semua orang dan ada sanksi bagi yang
tidak melaksanakan. Yang kedua adalah qadha’ bisa diartikan dengan
ketetapan hakim, sifatnya mengikat hanya kepada yang dikenai qadha
tersebut, dan dikenai sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Terakhir
adalah fatwa bisa diartikan himbauan, sifatnya tidak mengikat dan tidak
ada sanksi bagi yang tidak melaksanakannya.

Contoh fatwa ini
adalah fatwa haramnya rokok oleh MUI dan Muhammadiyah, walaupun 2
organisasi ini menyatakan haram, bukan berarti yang tidak
melaksanakannya dapat hukuman. Ya fatwa ini hanya semacam memberi efek
psikologis saja. Dalam kasus Pak Din yang “berfatwa” bahwa minum air
kemasan ini haram, jelas butuh penjelasan lebih lanjut, karena multi
tafsir, dan tidak mengikat. Namun kalau majelis tarjih sudah
mengeluarkan fatwa, diharapkan didengar oleh penguasa dan bisa dijadikan
bahan untuk membuat kebijakan. Atau mungkin follow up dari hasil munas
tarjih adalah judicial review bagi UU SDA No. 7 tahun 2004.(redaksi)