Ayah…Kisah Buya Hamka

BUYA HAMKA. Nama besar ini
bukan hanya dikenal sebagai ulama besar, melainkan juga sebagai
sastrawan, budayawan, politisi, cendikiawan, dan pemimpin masyarakat.
Ketokohan serta keagungan karyanya membuat banyak orang tertarik untuk
mengabadikannya.
Melalui penuturan anak kelimanya, Irfan Hamka,
Republika Penerbit ingin mengenal sosok besar Hamka, namun dari sisi
yang lebih dekat; Buya Hamka sebagai seorang ayah, suami, dan kepala
keluarga.
Buku Ayah… menyuguhkan banyak kenangan, pengalaman, dan kisah luar
biasa yang mungkin tak akan kita peroleh selain dari orang-orang
terdekatnya.  Dan, Republika Penerbit merasa beruntung bisa
“mendengarnya” langsung dari Penulis, lantas menyampaikannya kepada
pembaca. Semoga pembaca pun dapat memperoleh manfaat dengan membacanya.

Berikut
sebagian kecil nasihat dan pengalaman yang dikenang oleh Irfan Hamka
selama 33 tahun kebersamaannya dengan Buya Hamka, sang ayah. Kisah-kisah
dalam buku Ayah… akan membawa pembaca mengenal lebih dekat sosok Buya
Hamka dari sisi yang berbeda.
“Ada tiga syarat yang harus dimiliki oleh orang yang suka berbohong. Pertama, orang itu harus memiliki mental
baja, berani, tegas, dan tidak ragu-ragu untuk berbohong. Jangan
seperti kamu tadi.  Kedua, tidak pelupa akan kebohongan yang
diucapkannya. Ketiga, harus menyiapkan bahan-bahan perkataan bohong
untuk melindungi kebenaran bohongnya yang pertama. Contoh, ada seorang
teman bertanya kepada temannya, ‘Tadi hari Jum’at shalat di mana?’ Si
teman yang ditanya sebenarnya tidak ikut shalat berjamaah Jum’at, namun
karena malu, dia berbohong, lalu menjawab, ‘Di Masjid Agung’. Si teman
yang bertanya kembali bertanya, ‘Di lantai mana kau shalat?’ Yang
ditanya kembali menjawab, ‘Di lantai bawah’. Bertambah lagi bohongnya.
‘Saya juga di lantai bawah, kok. Tidak,bertemu?’ Dengan mantap yang
ditanya menjawab, ’Saya di saf paling belakang’. Coba
kau hitung, Irfan! Untuk melindungi bohongnya, berapa kali dia menambah
bohong agar temannya percaya bahwa dia memang shalat di Masjid Agung?
Mengerti kau, Irfan, akan cerita Ayah ini?” –Halaman 10.
***
Atau kisah tentang perjalanan maut di Padang Pasir.

Mulanya,
gulungan angin bercampur pasir itu masih berjarak sekitar dua kilometer
di belakang kami. Umar, sopir kami, menambah kecepatan mobil dari 100, 110, lalu 120 mill per jam. Mobil terasa melayang di atas jalan raya.
Namun,
angin pasir itu lebih cepat menyusul. Badan mobil terdengar seperti
disiram oleh pasir. Suara gemuruh angin terdengar di dalam mobil kami.
Seperti ada ribuan suara siulan yang mengepung mobil kami. Ayah terus
menyebut nama Tuhan, “Allah, Allah”.
Aku pun mengikuti ucapan Ayah, “Allah, Allah, Allah”. –Halaman  137-138.