Mengapa Banyak Mazhab Fikih ?

Suatu kali, saya ikut diskusi
menarik di sebuah milis Islam terkemuka. Awalnya, diskusi tetang Syiah
yang tidak melakukan shalat jumah di setiap masjid. Mereka hanya
melaksanakan shalat Jumah di kota-kota besar saja sesuai dengan
pandangan fikih mazhab Jakfari. Meski sebenanrnya, jika kita lihat
mazhab sunni, paham fikih seperti ini juga ada di mazhab Hanafi. Mazhab Jakfari dan Hanafi merujuk hadis yang diriwayatkan dari Sayyidina Ali.
 
Namun pembahasan melebar sampai kepada mazhab-mazhab dalam Islam. Lantas
ada satu pertanyaan menggelitik, namun perlu mendapatkan jawaban yang
benar. Pertanyaan tersebut adalah, “Rasulullah saw ikut mazhab siapa?”
 
Dapat dipahami bahwa penanya sesungguhnya ingin melontarkan wacana,
mengapa kita mesti bermazhab? Mengapa kita tidak mengikuti Rasulullah
saw. saja? Bukankah sumber hukum umat Islam adalah Quran dan Sunnah,
bukan pendapat Imam mazhab?
Memang benar bahwa rujukan umat Islam adalah al-Quran Sunnah Nabi.
Setiap ada persoalan, hendaknya dikembalikan kepada keduanya. Hanya
saja, dua pusaka tadi tidak dapat dibumikan tanpa terlebih dahulu
dipahami. Untuk memahami keduanya, butuh metodologi ijtihad yang disebut
dengan ushul fikih.
Para Imam terdahulu sangat memahami mengenai pentingnya sebuah
metodologi. Kemudian tiap Imam berusaha meletakkan metodologi sesuai
dengan kecenderungan dan kemampuan keilmuan mereka. Dari sini, muncullah
berbagai variasi metodologi ushul fikih. Karena metodologi yang
digunakan tiap Imam berbeda, pada akhirnya muncul pemahaman berbeda
terhadap kandungan Kitab Suci dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
Para imam juga mempunyai santri yang mewarisi metodologi sang Imam. Lama
kelamaan, pengikut sang imam semakin banyak, sehingga dikatakan, “Ini
ikut fikihnya Hanafi, mereka ikut fikihnya Syafii, yang itu ikut
fikihnya Hambali” dan demikian seterusnya. Dalam bahasa Arabnya, ini
mazhab Hanafi, Syafii, hambali dan seterusnya.
Inilah sesungguhnya awal mula munculnya mazhab Islam. Dalam
sejarahnya, mazhab Islam sudah mulai sejak masa sahabat. Antar para
sahabat, mempunyai piranti ijtihad masing-masing yang juga berimplikasi
kepada kesimpulan hukum fikih. Muncullah istilah mazhab sahabat, seperti
mazhab Umar, Aisyah, Ali, Ibnu Umar dan lain sebagainya.
Namun mengapa para Imam meletakkan metodologi yang berbeda? Kenapa
tidak ada kesepakatan ulama untuk membentuk satu metodologi saja
sehingga umat Islam tidak terkotak-kotak?
Tentu saja persoalannya tidak sesederhana itu. Banyak faktor yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat, di antaranya:
  1. Persoalan bahasa Arab.
  2. Perbedaan dalam menilai suatu hadis. Terkadang satu imam menganggap
    bahwa hadis tertentu kuat, sementara Imam lain menganggapnya lemah.
  3. Seorang Imam sudah menerima hadis tertentu, sementara Imam lain belum menerima.
  4. Imam ini mendahulukan hadis dhaif dibanding kiyas, sementara Imam lain mendahulukan kiyas dibanding hadis dhaif.
  5. Imam ini menganggap bahwa suatu ayat ada kaitan dengan ayat lainnya
    atau diterangkan oleh ayat lain, sementara Imam lainnya menganggap bahwa
    dua ayat tadi independen dan tidak ada keterkaitan sama sekali.
  6. Perbedaan kondisi.
  7. Perbedaan tempat
  8. Perbedaan kualitas keilmuan.
  9. Perbedaan cara pandang.
Dan masih banyak lagi berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya banyak pendapat di kalangan para ulama.

Di sini saya akan mencoba mengambil contoh dari perbedaan mereka dalam memahami teks melalui bahasa Arab.Bagi siapa saja yang pernah bersentuhan dengan bahasa arab, tentu ia
akan memahami bahwa bahasa arab sangat kaya. Bahasa arab juga banyak
mempunyai anonim. Ada juga lafal musytarak, di mana satu kata, mempunyai
banyak makna. Perbedaan satu huruf saja, terkadang berimplikasi pada
kesimpulan hukum yang berbeda. Di sini saya ambilkan satu contoh:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ﴾(المائدة: 6)
Bagaimana para ulama kita memahami ayat wudhu di atas? Kita ambil contoh huruf “Ba” dari ayat بِرُءُوسِكُمْ
Imam Malik: huruf ba berfungsi sebagai lil ililtihsaq (menempel).
Dengan pemahaman ini, maka ketika wudhu seluruh kepala harus dibasuh.
Imam Syafii berpendapat bahwa huruf “ba” litab’id (sebagian) sehingga
cukup sebagian rambut saja dan bagian mana saja yang dibasuh sudah
cukup.
Salamah bin Akwa berpendapat, cukup bagian depan kepala saja.
Al-hasan berpendapat, untuk wanita, satu helai rambut saja yang terkena air, sudah cukup.
Ada juga yang menganggap “ba za’idah” (tambahan) keberadaan sehingga
huruf “ba” tidak dianggap. Dengan demikian, seluruh rambut kepala harus
dibasuh semuanya.
“Ba ziyadah” pun masih ada 2 pendapat, pertama ziyadah untuk tawkid,
kedua, ziyadah untuk ta’lil. Masing-masing pendapat ada implikasi
hukumnya.
Itu baru huruf ba, belum lagi kita bahas mengenai huruf waw pada ayat
di atas, apakah litartib (berurutan), atau athaf biasa (tidak
berurutan). Kemudian waw pada وَأَرْجُلَكُمْ, athafnya kemana? Karena
ada qiraat lain yang membaca dengan lam fathah.
Dari sekian pendapat, lantas mana yang benar? Jawabnya adalah bahwa
semuanya benar, hanya saja tingkat kebenarannya zhaniy, bukan qat’i.
zhani di sini, benar yang masih ada kemungkinan salah, sementara qati,
benar yang bersifat pasti dan tidak ada lagi perbedaan pendapat di
kalangan para ulama. Bisa dilihat, hanya berbeda dalam memahami huruf
ba, memunculkan sekian kesimpulan hukum. Belum lagi
Sederhananya, para Imam mazhab dalam menggali hukum fikih, juga
berpedoman dari dua pusaka tadi (kitab Suci dan Sunnah Nabi Muhammad
saw). Mereka tidak melakukan ijtihad dari ruang kosong.

Ditambah lagi bahwa dua pusaka tadi sangat terbatas. Dengan kata lain,
bahwa teks dalam kitab Suci dan Sunnah Nabi sudah final dan tidak akan
pernah bertambah lagi. Sementara persoalan umat tidak terbatas. Setiap
saat akan muncul persoalan baru yang belum pernah dijumpai pada masa
Nabi dan sahabat. Di sini pula di tuntut ijtihad dari para imam.
Sehingga persoalan yang baru muncul, tetap ada sandaran hukum sesuai
denga Kitab Suci dan Sunnah Nabi.
Selain itu, persoalan di satu kawasan, juga berbeda dengan kawasan
lainnya. Atau persoalan di satu daerah, sama persis dengan daerah lain,
namun sosio kultural suatu masyarakatnya yang berbeda. Perbedaan
tersebut, secara otomatis juga berimplikasi kepada perbedaan dalam
berijtihad dan dalam mengambil kesimpulan hukum. Maka tidak heran jika
Imam Syafii, mempunyai dua mazhab, yaitu mazhab lama (qadim) dan baru
(jadid). Mazhab lama, ketika beliau berada di Bakdad, sementara mazhab
baru, ketika beliau berada di Mesir. Persoalan yang muncul di Mesir,
tentu berbeda dengan persoalan yang ada di Bakdad. Demikian juga
sosiokultural masyarakat Mesir, yang berbeda dengan sosiokultural
masyarakat di Bakdad. Dengan perbedaan ini, muncul kesimpulan hokum yang
berbeda. Ini tentu sesuai dengan kaidah ushul fikih yang mengatakan
bahwa fatwa dapat berubah sesuai dengan perbedaan situasi, kondisi,
ruang dan waktu.
Kesimpulannya, ilmu fikih bukanlah kumpulan ayat al-Quran dan Hadis
Nabi, tapi fikih adalah kumpulan kesimpulan hukum yang dihasilkan dari
pemahaman mujtahid terhadap kitab Suci dan Ssunnah Nabi  tersebut.