Memahat Batu Nisan Untuk Muhammadiyah

Genap seabad usia Persyarikatan Muhammadiyah. 18 November 1912, sang sosok “manusia besar” (Great Individual), Kyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi islam modern terbesar di dunia saat ini. Menurut Nurcholish Madjid (1983: 310), Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang melahirkan pembaruan Islam, dan pembaruannya luar biasa karena tidak mengalami prakondisi sebelumnya (break-throught).

Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam seabad usianya telah banyak mendirikan taman kanak-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya. Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika nasional dan global.

Seabad, umur yang cukup uzur bagi sebuah organisasi keagamaan yang bernama Muhammadiyah. Jika kita melakukan personifikasi, maka Muhammadiyah sesungguhnya telah mendapat diskon lebih 37 tahun dari umur Nabi Muhammad SAW. Adakah umur yang renta tersebut membuat Muhammadiyah seperti gajah bengkak, gerakan yang sangat besar, namun memiliki penyakit kronis. Penyakit yang sebentar lagi akan membuatnya meregang nyawa. Apakah itu berarti kita harus segera memahatkan batu nisan untuk menyambut kematiannya?

Tentu saja sebagai kader Muhammadiyah, penulis masih memiliki optimisme bahwa Muhammadiyah masih bisa menyongsong abad kedua dengan penuh antusiasme dan progresifitas. Oleh karena itu potongan gagasan berikut semoga bisa menjadi obat mujarab bagi kesembuhan Muhammadiyah. 

Penulis ingin menuliskan mozaik gagasan ini dalam kerangka “TBC”. Sebuah jargon dakwah yang cukup populis di Muhammadiyah. TBC ini bukan Tuberculosis/Tuberkulosa alias penyakit paru-paru yang disebabkan oleh bakteri. TBC yang Muhammadiyah maksudkan adalah Takhayul, Bid’ah dan Churafat.

Takhayul adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak ada asal usulnya. Misalnya saja, membuat bangunan/jembatan, jika tidak ditanam kepala kerbau maka bangunan tersebut bisa runtuh. Bid’ah adalah praktek keagamaan yang diada-adakan yang tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Contohnya banyak sekali, diantaranya adalah; Tahlilan atau selamatan kematian, prakteknya meniru kebiasaan orang Hindu. Churafat/Khurafat adalah cerita mengenai sesuatu yang tidak jelas asal-usulnya namun melegenda. Misalnya saja; kepercayaan kepada cincin yang telah di “baca-bacai” sehingga cincin itu menjadi sumber berkah. 

Dalam konteks tulisan ini, penulis ingin memberikan “makna lain” tentang TBC. Bukan dalam terma ilmu kesehatan ataupun terma yang telah populis di Muhammadiyah. TBC yang saya maksudkan tetap merupakan kepanjangan dari Takhayul, Bid’ah dan Churafat. Takhayul dimaknai sebagai kemampuan melampaui kelaziman. Atau sebutlah takhayul itu berarti imajinatif. Sesuatu yang menggugah dan mencerahkan. Sedangkan bid’ah dimaknai sebagai kreatifitas. Khurafat, diterjemahkan kedalam pemaknaan: kemampuan memberi makna terhadap realitas. 

Takhayul
Muhammadiyah sebagai “gerakan takhayul” (baca: imajinatif) berarti gerakan ini memiliki gagasan-gagasan yang imajinatif untuk dalam ranah keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Setidaknya ada beberapa gagasan yang harus dituntaskan oleh Muhammadiyah jika ingin disebut sebagai gerakan penyuluh zaman. 
Pertama, terma “Ar-Ruju’ Ila Quran wa hadits” yang sering menjadi jurus andalan Muhammadiyah perlu diberikan tafsiran penjelas. Masalahnya hampir semua gerakan Islam juga mengklaim Quran dan Hadits sebagai rujukan. Meskipun penafsirannya akan beragam. 

Muhammadiyah tidak akan memiliki pembeda kalau juga terjebak kedalam jurus-jurus apologetif semacam ini. Jangan-jangan Muhammadiyah terjebak kedalam fallacies of misplaced concreteness (menjelaskan sesuatu yang abstrak dengan penjelasan abstrak). Solusinya adalah Muhammadiyah perlu membuat risalah Islam komprehensif dalam pahaman Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tidak lagi cukup memadai untuk menjelaskan kompleksitas persoalan dunia. Spirit “ar-Ruju’ Ila Quran wa hadits” perlu dimaknai sebagai sebuah komitmen Muhammadiyah untuk menggali nilai-nilai (menafsir) Quran dan Hadits untuk menjawab problem kemanusiaan dan peradaban. Dalam menyelami persoalan masyarakat, tentu saja Muhammadiyah mau tak mau harus merujuk pada “koran wa hard disk” (Baca: Media Massa dan internet).

Kedua, bagaimana gagasan Muhammadiyah tentang Indonesia. Spanduk besar yang terpampang di depan Pusat Dakwah Muhammadiyah Tamalanrea bertuliskan “Ketika orang baru belajar tentang Indonesia, jutaan orang telah mengenal Muhammadiyah”, menjadi bukti bahwa Muhammadiyah adalah salah satu elemen yang turut mendeklarasikan lahirnya Republik Indonesia. Alangkah naifnya, jika masih ada orang Muhammadiyah yang memperhadap-hadapkan antara keislaman dan keindonesiaannya. Menjadi orang Muhammadiyah berarti menghirup keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan nafas. Indonesia adalah produk objektifikasi Islam terbesar di abad ke-20. 

Menarik konsep “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa” yang digagas oleh Muhammadiyah. Namun konsep tersebut tidak boleh berhenti sekadar sebuah teks beku yang tidak berdialektika dengan realitas keindonesiaan. Gagasan tersebut perlu dielaborasi lebih lanjut sampai tingkat metodologi praksis. Hadirnya gagasan tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa ini. Siapa saja yang bercita-cita merongrong Indonesia, berarti harus berhadapan dengan Muhammadiyah.

Ketiga, gagasan tentang Globalisasi. Dalam “pernyataan pikiran jelang 1 abad”, Muhammadiyah memandang bahwa globalisasi telah mendorong ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga ditandai dengan pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-adilan global yang baru. Sayangnya konsep tersebut masih belum bisa memberi jawaban bagaimana peran yang harusnya dimainkan Muhammadiyah dalam merespon fenomena tersebut.

Bid’ah
Kalau takhayul bergerak pada imajinasi gagasan, maka “Bid’ah” bergerak dalam ranah kreatifitas manajemen gerakan. Dalam Talk-Show di TVOne, Rachlan aktivis IMPARSIAL, mengkritik Amien Rais dan Din Syamsuddin. Mereka dianggap pendatang baru dalam dunia pemberantasan korupsi. Memang waktu itu Din berhasil menjelaskan kiprahnya bersama Muhammadiyah dalam pemberantasan korupsi.
Namun ada satu hal yang terbetik dalam benak saya. Apakah Muhammadiyah hanya terlibat dalam seruan-seruan moral semata dalam pemberantasan korupsi? Tidak adakah Majelis atau lembaga yang bisa ditugasi khusus untuk melakukan kerja-kerja advokasi kasus korupsi? Kenapa Muhammadiyah tidak bisa bergerak seprogresif ICW dalam isu korupsi, WALHI dalam isu lingkungan atau LBH dalam ranah hukum? 

Muhammadiyah belum terlambat untuk memanfaatkan jaringan dan organ-organnya untuk mengadopsi model organisasi New Social Movement. Memang sudah ada lembaga-lembaga berbasis isu, namun lembaga itu seolah bukan jiwa dan ruh persyarikatan Muhammadiyah. Pada domain inilah integrasi antara Matan Keyakinan Muhammadiyah dengan isu-isu aktual layak diberi perhatian serius oleh para pimpinan gerakan.

Disamping model new social movement tersebut, model virtual movement juga layak dipertimbangkan sebagai wujud artikulasi gerakan. Keberhasilan gerakan facebooker dalam menggalang lebih dari sejuta dukungan untuk menolak kriminalisasi KPK, ataupun inisiasi para blogger dalam gerakan “koin untuk Prita” membuat virtual movement ini juga harus dijadikan kiblat model gerakan sosial.

Ranah New parliamentary Movement (Gerakan Parlementer Baru) juga belum digarap Muhammadiyah secara serius. Tatkala bicara tentang Politik, Muhammadiyah sekadar bicara pada isu-isu moral politik, tapi masih gagal menjadi inspirator visi bagi para politisi. Tersebarnya kader-kader Muhammadiayh sebagai politisi di berbagai partai politik masih sekadar dilihat sebagai lumbung dana. Belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengagregasikan visi kebangsaan Muhammadiyah dalam ranah kebijakan publik.

Ada model gerakan klasik yang semakin ditinggalkan oleh warga Muhammadiyah, yakni entrepreneurship movement (Gerakan Kewirausahaan). Kyai Dahlan dulu mendakwahkan Islam sambil menjajakan batik, kini kader Muhammadiyah mendakwahkan Islam sambil menjajakan “Proposal Kegiatan”. Belum lagi letak strategis model gerakan ini jika dikaitkan dengan analisis “The Ruling Elite” Anies Baswedan, bahwa dua-tiga dekade kedepan the ruling elite bangsa ini akan berasal dari kaum entrepreneur. Maukah Muhammadiyah menjadi penonton di pinggiran jalan raya sejarah? Menonton bangsa yang dibidaninya dibesarkan tanpa menghiraukan nilai-nilai dan visi yang dianutnya. 

Churafat
Muhammadiyah sebagai Churafat dimaknai sebagai kemampuan persyarikatan untuk memberi makna (berkah/maslahat) terhadap orang banyak. Gerakan Islam ini harus menjawab apa makna bermuhammadiyah bagi kader dan anggota Muhammdiyah. Ustadz Alwi Uddin, sekretaris Muhammadiyah Sulsel pernah berkelakar dalam sebuah diskusi, “bermuhammadiyah berarti mempunyai peluang untuk menjadi pengelola di amal usaha Muhammadiyah atau dosen yayasan di perguruan tinggi Muhammadiyah.” Tentu saja jawaban diatas sekadar jawaban ironi untuk mencari jawaban-jawaban yang lebih intrinsik.

Disamping itu, Muhammadiyah harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar makna kehidupan dari berbagai lapisan masyarakat. Apakah ritual-ritual milad, pengajian, khotbah-khotbah dai Muhammadiyah bisakah mencerahkan nalar sekaligus menentramkan batin? Bisakah Muhammadiyah menggantikan peran Inul Daratista sebagai pelipur lara beban hidup kaum papa? Bisakah Muhammadiyah menjadi pembakar semangat juang dan pengusir kegundahan anak muda dari kegelisahan akan identitasnya? Mampukah pengajian-pengajian Muhammadiyah/Aisyiyah memberikan kesejukan bagi kaum ibu yang semakin sering cemberut dengan harga kebutuhan rumah tangga yang semakin melambung?

Akhirnya, Selamat Ulang Tahun Seabad Muhammadiyah. Ingin kututup tulisan ini dengan mengutip torehan pesan yang terpajang di dinding Pusdiklat Angkatan Muda Muhammadiyah (Lompobattang 2011): 
“Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan Muhammadiyah? Yakni orang-orang yang menghardik angkatan muda muhammadiyah, menggerogoti amal usaha muhammadiyah serta tidak peduli dengan prahara kemanusiaan, kebangsaan dan keummatan”. 

Wallahu A’lam
*Hadi Saputra