Haedar Nashir: Mencari Nilai dan Jejak Pembaharuan Kiai Dahlan

Yogyakarta – Membahas pemikiran dan nilai-nilai yang ditinggalkan KH Ahmad Dahlan, sejarah hidupnya dan nilai pendiri Muhamadiyah ini, Ketua PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, M.Si merasakan dua kegelisahan terhadap buku-buku yang membahas Kiai Dahlan. “Dua kegelisahan saya ketika membaca buku-buku Muhammadiyah sejak di IPM. Terutama buku-buku teks, makna puritan nilai-nilai Islam. Bahwa buku itu tidak cukup memadai untuk menampilkan gerakan pembaharuan maupun gerakan Islam yang dirintis dipelopori oleh Kiai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah. Kedua, buku-buku teks itu nyaris tidak menampilkan sosok dan perebutan hidup dan pemikiran dan karya pendirinya, yakni Ahmad Dahlan. Bahkan seakan luput dari pembahasan”, hal itu disampaikan Haedar ketika menjadi pembicara dalam seminar terbatas yang digelar Majelis Pendidikan Tinggi (Dikti) PP Muhammadiyah dengan tema “Mencari Jejak Langkah nilai-nilai ke-Islaman ajaran KH.Ahmad Dahlan” di gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan Cik Ditiro 23 Yogyakarta, beberapa waktu lalu, Rabu (29/1).
Selain Menghadirkan pembicara seminar Ketua PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, hadir pula sebagai narasumber Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Munir Mulkhan, serta dengan moderator Prof. Dr. Suyanto (Anggota Majelis Dikti PP Muhammadiyah). Seminar ini juga diikuti oleh beberapa perguruan tinggi Muhamadiyah se Jateng dan DIY, Majelis dan Lembaga PP Muhammadiyah di Yogyakarta, Ortom Tingkat Pusat serta PWM DIY.
Haedar juga melihat kekurangan buku-buku sebelumnya yang sangat fatal ketika membahas sosok Kiai Dahlan dan Gerakan Pembaharuan. “Saya melihat ini juga kekurangan yang sangat fatal, bagaimana mungkin Muhammadiyah dilepaskan dari pemikiran sosok, pergumulan dan langkah-langkah pendirinya, karena pada saat yang sama muncul gerakan-gerakan Muhammadiyah  di Timur Tengah dalam bentuk kelompok-kelompok kecil,” ujarnya.
Haedar menambahkan bahwa yang kemudian di belakang hari mengalami proses distorsi tentang Muhammadiyah. Pertama, meletakkan Muhammadiyah persis sama dan sebangun sebagai sebuah gerakan puritan Islam dan revivalisme Islam. Kedua, menimbulkan bias karena menyamakan Kiai Dahlan sering direduksi dengan tokoh-tokoh pembaharu lainnya. Bahkan di buku-buku itu justru sering banyak diuraikan dengan gerakan-gerakan pembaharuan Islam di dunia di Timur Tengah. Seakan-akan kesimpulannya bahwa muhammadiyah hanya bagian dari rangkaian itu. Tapi dimana karakter pembaharuan Kiai Dahlan dibanding yang lain itu tidak masuk ke situ.
“Muhammadiyah bukan dahlaniyah, tapi konsep dahlaniyah itu problematik juga satu bisa melepaskan muh dari sosok kiai dahlan nya yang kemudian menjadi neorivivalis. Kedua, justru kedua tidak menjawab persoalan” tambah Haedar.
Berangkat dari situ meneruskan tulisan Prof. Munir Mulkhan dan Sukriyanto AR, dalam buku Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, Haedar memaparkan pertama, menampilkan sosok lain dari pemikliran Muhammadiyah dan Kiai Dahlan bahwa bukan hanya revivalisme dalam makna purivikasi atau puritan Islam tetapi yang paling menonjol gerakan pembaharuannya. [sp/dzar/muhammadiyah.or.id]