Bencana, Ekologi dan Humanitarianisme

Konsep
tentang bencana ada yg tergolong pada natural
disaster
, namun ada pula yg terkait dengan human
error
. Yang pertama tentu “murni” dari kuasa Allah SWT, sedangkan yg kedua
sering dianggap sbg kesalahan prilaku manusia. Kasus gempa bumi (earth quake), lumpur Lapindo (menurut
sebagian pakar geologi), angin topan/puting beliung, membekunya es di AS, dan
semisalnya, bisa digolongkan pada  natural disaster. Sementara banjir,
kebakaran dan sejenisnya  termasuk pada
wilayah human error, sebagaimana firman
Allah SWT: “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut  akibat ulah manusia”. Dalam firman yg lain
juga dicantumkan bahwa segala hal positif itu datangnya dari Allah, adapun yg
negatif akibat ulah manusia sendiri.
Berbicara
ttg bencana tentunya tak dapat dipisahkan dari pemahaman ttg Taqdir, Ikhtiar dan Sunnatullah (yg telah diketahui maupun yg belum
diketahui/terdeteksi). Di kalangan ulama Islam banyak penafsiran ttg tiga
konsep tsb. Di sini penulis sederhanakan sbb: Taqdir merupakan ketetapan ilahi, sesuai dengan upaya minimal atau
maksimal (Ikhtiar) manusia dalam
memahami dan menjalani hukum-hukum Tuhan (Sunnatullah)
di bidang social maupun natural  selama
hidup di dunia. Bila sunnatullah di bidang sosio-kultural memiliki dimensi
relativitas yg tinggi, maka sunnatullah di wilayah natural-fisikal nilai
relativitasnya lebih rendah. Sunnatullah atau hukum alam dan sosial ini akan
menimpa semua umat manusia tanpa melihat aspek suku, bangsa bahkan agama.
Misalnya, orang kafir yg rajin membaca/belajar dan berusaha tentu akan lebih
cerdas, kaya, sehat dan sejahtera dibanding umat muslim yg malas belajar, malas
berusaha dan malas berolah-raga. Contoh lainnya, bangunan gereja yg memiliki
penangkal petir akan lebih selamat dari kilatan petir ketimbang masjid yg dibangun
tanpa penangkal petir. Jadi, secara sunnatullah, hukum alam yg berlangsung di
dunia ini bersifat adil dan objektif. Secara taqdir dan sunnatullah, umumnya masin-masing
daerah/Negara sudah punya “sunnatullah”-nya sendiri-sendiri sesuai bakat alam
yg mengitari. Misalnya, negara AS dan sebagian Eropa selalu akan didera  badai topan dan es; Jepang, sebagian wilayah
Iran dan pantai selatan Jawa maupun Sumatera  lebih “berbakat menikmati” gempa karena secara
sunnatullah memang berada di wilayah ring
of fire
. Daerah-daerah yg dekat pegunungan tentu lebih berpotensi mengalami
bencana dampak meletusnya gunung api seperti Merapi, Sinabung, dll. Demikian
contoh-contoh potensi bencana di daerah atau Negara lainnya.
Namun,
mengingat manusia sebagai khalifatullah
fil-ardl
, maka baik potensi bencana yg natural
disaster
maupun human error,
tetap berlaku  firman Allah bahwa:
“Sesungguhnya Allah tdk akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri
terlebih dahulu berupaya merubah nasib mereka sendiri.“ (QS ar-Ra’du: 13). Maka
untuk menjadi manusia sebagai agen ikhtiar dan agen perubahan yg memiliki
kemampuan manajerial dalam pengelolaan alam dan kehidupan social, sudah barang
tentu sangat dibutuhkan sarjana/ilmuan yg ahli dlm mengelola lingkungan dan tanggap
bencana. Menarik sekali, misalnya,  di
UIN Suka Yogyakarta telah dibuka program S2 Social
Worker
yg lulusannya kelak diharapkan memiliki ketrampilan manajerial di bidang
pembangunan maupun ahli di bidang kebencanaan dan sejenisnya. Pada level Negara
juga telah diwujudkan sebuah institusi kebencanaan yakni Badan Nasional
Penanggulangan Bencana  (BNPB), demikian
pula 33 cabangnya di daerah-daerah atau BPBD.
Ormas
keagamaan seperti Muhammadiyah juga telah membentuk MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), juga ormas lain seperti DSUQ,
LAZIS, Dompet Dluafa, dll. Berbagai perusahaan juga telah memiliki unit CSR (Corporate Social Responsibility) yg
sebagian unit kerjanya aktif di bidang kebencanaan. Demikian pula PMI/Palang
Merah Indonesia yg kini dipimpin oleh bpk Yusuf Kalla. Secara personal banyak
bermunculan para relawan (voluntir) di bidang komunitas pelestari lingkungan
seperti yg telah banyak ditampilkan dalam acara Kick Andy. Di dunia
internasional seperti Malaysia, telah muncul gagasan criminilizing war yg dipelopori mantan PM Malaysia, Dr. Mahatir
Mohammad. Demikian pula halnya yayasan kemanusiaan yg dipelopor oleh mendiang
Nelson Mandela, Afrika Selatan. Mengingat perang juga akan melahirkan bencana
social yg maha dahsyat, seperti yg kini tengah terjadi di Mesir, Suriah, Yaman,
Irak, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar bahkan Thailand yg kini berpotensi
mengalami perang saudara. Khusus di Indonesia, masyarakat juga berharap lembaga
seperti masjid, gereja/peribadatan lainnya, serta berbagai lembaga pendidikan
sosial bisa dikembangkan menjadi pusat antisipasi bencana yg secara periodik
melakukan edukasi, kampanye bahkan didesain sejak dini menjadi tempat
pengungsian tatkala ada bencana. Yg tak kalah pentingnya adalah – terutama bagi
partai politik – agar jangan sampai ada “politisasi bencana”. Maka secara
keseluruhan, umat dan warga bangsa di masa depan perlu lebih meningkatkan lagi
wawasan tentang humanitarianisme yg sejatinya memang membutuhkan ketulusan dan
energi social yg berkelimpahan melalui konsep Ihsan.

Yg
perlu juga disadari oleh umat dan warga bangsa bahkan warga dunia masa kini
adalah bahwa bencana alam kini bukan lagi sebagai musibah yg perlu ditakuti,
tetapi manusia butuh paradigm baru 
dimana bencana social dan alam sebaiknya dianggap sbg “sahabat”. Saatnya
kini manusia “bersahabat” dengan berbagai bencana. Untuk itu diperlukan sikap
mental antisipatif sejak dini berupa edukasi wawasan kebencanaan social maupun
alam sejak kanak-kanak, bahkan sejak TK/SD sebagaimana pendidikan simulasi
bencana di sekolah-sekolah dasar di Jepang. Juga pentingnya pewarisan “kisah-kisah”
bencana melalui buku, film serta dokumentasi foto-foto pasca bencana, agar generasi
muda masa depan lebih sadar bencana, mengingat 80% wilayah Indonesia memang
rawan bencana. Selain itu perlu diadakan pelatihan secara periodik tentang  antisipasi pra dan pasca bencana seperti persiapan
tehnis: penyediaan stok makanan, air bersih/minum, penerangan, tikar, kasur, selimut
terutama bagi anak-anak balita dan kaum perempuan, paling tidak selama 7 hari
pasca bencana. Biasanya bantuan social pasca bencana butuh berhari-hari sampai
ke korban bencana. Juga perlunya kesadaran warga untuk bersedia direlokasi seperti
korban bencana  Merapi di luar radius
15-20 km, Sinabung 5 km, serta daerah rawan longsor maupun pembangunan rumah
susun bagi penduduk sekitar sungai. Wawasan tentang filosofi, teologi serta
fikih bencana, fikih air, fikih lingkungan, dll perlu dirumuskan secara lebih aktual
dan kontekstual, mengingat kajian Islamic
studies
klasik selama ini belum berbicara banyak tentang kebencanaan tsb. Kinilah
saatnya para guru, dosen, da’i, khatib, ustaz, kiai, penulis secara gencar dan
massif mendakwahkan tentang isu bencana ini secara lebih aktual dan
kontekstual, selain isu korupsi, narkoba dll. 
Tak
kalah pentingnya adalah membangun rasa solidaritas keumatan dan kebangsaan
melalui penggalangan dana dan bahan material lainnya yg dibutuhkan para
pengungsi dan korban bencana alam. Perlu juga ditambahkan di sini bahwa dalam
mengantisipasi datangnya bencana diperlukan tiga tahapan: pertama, Mitigas: kesiapan psikologis, sosiologis, politis,
ekonomis dan cultural pada saat SEBELUM datangnya bencana, yakni pentingnya
bagi masyarakat untuk mengikuti informasi para pakar bencana seperti dari BMKG,
BNPB, BPDB dan sejenisnya yang selalu mewanti-wanti masyarakat tentang,
mislanya, status: NORMAL, WASPADA, SIAGA dan AWAS dari letusan gunung api.
Banyaknya korban gunung Merapi maupun Sinabung salahsatunya sebagian masyarakat
cuek dengan peringatan dini
pra-bencana. Kedua, tahapan Tanggap
Darurat terutama beberapa jam/hari setelah terjadi bencana. Ketiga, tahap Rekonstruksi/Rehabilitasi
pasca bencana. Idealnya Pemda, tokoh-tokoh masyarakat sudah memberikan edukasi
kepada warga sekitar pada tahap Mitigasi/pra-bencana. Negara Jepang telah
mengantisipasi datangnya bencana pada tahap pertama/mitigasi sehingga bisa
meminimalisir korban jiwa. Demikian juga setiap daerah di tanah air sebenarnya memiliki
banyak kearifan local yang bisa dimodifikasi untuk tahapan mitigasi.

Ke
depan, umat serta warga bangsa perlu mewujudkan konsep dan aplikasi  green
city
yakni mengembalikan tata manajemen perkotaan kembali  menuju suasana pedesaan yg asri, original dan
harmoni (friendly) dengan alam (Lebih
lanjut lihat: Demokrasi Religius edisi 25 ttg Lingkungan Hidup, dan edisi 34 ttg
Fikih Air). Semoga. Wallahu a’lam
bisshawab.-,


MUHAMMAD AZHAR
Bidang Publikasi dan Kerjasama Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muh 2010-1015