Posisi Telunjuk Saat Tahiyat, Diam atau Digerakkan ?

Pertanyaan dari:
Dedi Hermawan, Bogor, Jawa Barat
Pertanyaan:
Assalaamu’alikum Wr. Wb.
1.      Dalam pelaksanaan sholat, pada saat tahiyat, posisi jari telunjuk bergerak atau diam?
2.      Sikap muhammadiyah mengenai ahmadiyah dan RUU Pornografi seperti apa?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
1.      Tentang pelaksanaan shalat, posisi jari telunjuk pada saat tahiyat, bergerak atau diam.
Masalah menggerakkan jari telunjuk ketika duduk tasyahud, baik awal maupun akhir dalam shalat adalah salah satu masalah yang masih memerlukan penjelasan dan penelisikan lebih lanjut terutama pada kualitas sanad hadits-hadits antara yang tidak memerintahkan dan yang membolehkan menggerakkannya. Oleh karena itu, sekalipun masalah ini pernah ditanyakan dan telah pula dijawab serta dimuat di Buku Tanya Jawab Agama Jilid 5 halaman 44-46, berikut ini kami tambahkan penjelasan tentang posisi jari telunjuk pada saat tahiyat.
Hadits yang sering digunakan sebagai dalil bagi orang yang menggerakkan jari telunjuk saat tasyahud adalah hadis riwayat an-Nasa’i dari sahabat Wail bin Hajar (Sunan an-Nasa’i: 1192). Berikut kami kutip lengkap dengan sanadnya:
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللهِ ـ يعني ابْنُ الْمُبَارَكِ ـ عَنْ زَائِدَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ قَالَ: قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إلَى صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إلَيْهِ فَوَصَفَ قَالَ: ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَض اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَع أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَايَدْعُو بِهَا. مُخْتَصَرٌ. [رواه النسائي]
Artinya: “Suwaid bin Nashr mengkabarkan dari Ibnu Mubarak dari Zaidah (bin Qudamah) dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wail bin Hujr yang berkata: “Aku akan akan melihat bagaimana shalat Rasulullah saw, maka aku telah melihatnya dan memperhatikan gerakannya. Ia berkata: Kemudian ia duduk (tasyahud) dengan iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri yang dihamparkan dan telapak kaki kanannya ditegakkan, pen.) dan meletakkan telapak tangan kirinya pada paha dan lututnya yang kiri dan meletakkan siku kanannya di atas paha kanannya, kemudian menggenggamkan dua jarinya dan terkadang ibu jari dan jari tengahnya membentuk bulatan lalu menggerak-gerakkan  jari telunjuknya sambil berdoa. [HR. an-Nasa’i]
Jika dianalisa dan dibandingkan, ternyata didapati banyak jalur sanad lain yang juga dari Wail bin Hujr, namun kebanyakan tidak mencantumkan kata “يُحَرِّكُهَا ” (menggerak-gerakkan) sebagaimana dalam riwayat ini yang di dalamnya terdapat seorang rawi bernama Zaidah bin Qudamah. Zaidah bin Qudamah inilah yang menambahkan kata tersebut dalam matan hadits yang ia riwayatkan. Dalam ilmu Musthalah al-Hadits, tambahan dalam suatu matan hadits yang menyalahi matan yang ada dalam jalur sanad lain yang sama dapat dikategorikan sebagai “sadz” (cacat). Jika tidak menyalahi, maka tambahan tersebut diistilahkan dengan ziyadah tsiqat (tambahan yang menguatkan). Zaidah, meski sebagai rawi dinilai oleh para ulama kritikus hadits dengan tsiqah tsabat (kuat dan stabil), namun ia memberi tambahan yang bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang lebih kuat. Selain riwayat ini, hadits lain yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Imam al-Baihaqi.
Dalil lain yang sering digunakan adalah penggalan lafaz sebuah riwayat dari Ibnu Umar (Jami’ Masanid wa al-Marasil: 16954), “لَهِيَ أَشَدُّ عَلٰى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ ” ((jari telunjuk itu) akan terasa lebih keras pada setan dari sekedar (pukulan) besi). Artinya, orang yang mengamalkan penggerakan jari telunjuk ketika tasyahud bermaksud untuk mengusir setan agar tidak mengganggu shalatnya. 
Padahal Ibnu Umar sendiri dalam riwayat tersebut tidak menyebutkan adanya penggerakan telunjuk jari.
Sedangkan kebanyakan riwayat terkait tema tasyahud ini tidak ada yang memerintahkan untuk menggerakkan telunjuk jari, hanya mengacungkannya sejak awal tasyahud hingga salam. Sebagaimana riwayat dari Abdulah bin Zubair, Abdulah bin Umar, Aisyah, dan Abu Hurairah. Pun demikian mayoritas ulama mazhab berpendapat untuk tidak menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud.
2.      Sikap Muhammadiyah mengenai Ahmadiyah dan RUU Pornografi seperti apa?
Secara khusus, Muhammadiyah memang tidak mengeluarkan pernyataan sikap tentang Ahmadiyah. Namun, secara umum Muhammadiyah telah mempunyai pandangan bahwa siapa pun itu, jika mengimani adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw adalah kafir. Hal ini seperti ditegaskan dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Kitab Beberapa Masalah:
Barang siapa mengimankan kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad SAW, maka harus diperingatkan dengan firman Allah “Muhammad itu bukannya bapak seseorang dari padamu, tetapi ia Pesuruh Allah dan penutup sekalian Nabi”; dan sabda Rasulnya: “Dalam ummatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya Nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi, yang tidak ada Nabi selain Nabi sesudahku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaihi dari Tsauban). Begitu juga sabda nabi : “Perumpamaanku dan sekalian Nabi sebelumku adalah ibarat seorang yang mendirikan gedung. Maka diperbaguskan dan perindahkan bangunan itu kecuali satu bata (yang belum dipasang) pada salah  satu penjuru-penjurunya, maka orang-orang mengelilinginya dengan heran dan katanya : “Mengapakah bata ini tidak dipasang?”. Sabda Rasulullah : “Aku inilah bata itu, dan aku inilah penutup sekalian Nabi”. (hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah);dan banyak lagi hadits yang menerangkan dengan jelas bahwa tak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad SAW.Jikalau orang tidak menerima dan tidak mempercayai ayat dan hadits tersebut maka ia mendustakannya, maka barang siapa mendustakannya maka kafirlah ia.

Adapun mengenai pornografi, telah kami sampaikan pada beberapa nomor sebelumnya, telah diputuskan dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-26 tahun 2003 di Padang Sumatera Barat bahwa hukumnya adalah haram. Silakan saudara periksa kembali beberapa nomor Majalah Suara Muhammadiyah yang telah lalu.
Wallahu a’lam bish-shawab. *mr-am)

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah