Apakah Perda Syariah Melawan Pancasila ?

Balantika Hukum di Negeri Pancasila ini kembali romantis sejak 
7 Januari 2013, yaitu dimana pada tanggal tersebut  Wali Kota
Lhokseumawe, Suaidi Yahya secara resmi mengeluarkan surat edaran yang
melarang perempuan dewasa duduk mengangkang saat dibonceng menggunakan sepeda
motor.
Berikut isi surat edaran bernomor 002/2013 yang terkait dengan
larangan tersebut :
Untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjaga nilai-nilai budaya
dan adat istiadat masyarakat aceh dalam pergaulan sehari-hari, serta sebagai
wujud upaya Pemerintah Kota Lhokseumawe mencegah maksiat secara terbuka, maka
dengan ini Pemerintah menghimbau kepada semua masyarakat di wilayah Kota
Lhokseumawe, agar :
Pertama; Perempuan dewasa yang dibonceng dengan
sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama
perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang), kecuali dengan
kondisi terpaksa (darurat). 
Kedua; Di atas kendaraan
baik sepada motor, mobil dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak
sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara-cara lain yang
melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh. 
Ketiga; Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum
denganmemakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain
yang melanggar syariat islam dan tata kesopanan dalam berpakaian.
Keempat; Kepada seluruh keuchik, imum mukim, camat, pimpinan instansi pemerintah
atau lembaga swadaya, agar dapat menyampaikan seruan ini kepada seluruh
bawahannya serta kepada semua lapisan masyarakat
Surat edaran Wako Lhokseumawe tersebut akhirnya mendapat sambutan yang
cukup rame dan bahkan juga menimbul pro kontra dalam masyarakat. Adalah suatu
hal yang lumrah di negara demokrasi memperbincangkan segala peratuan
perundang-undangan yang akan di berlakukan dalam masyarakat. Pemberlakuan
beberapa peraturan daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah   tersebut dinilai oleh beberapa kalangan tidak “pantas” untuk
dikeluarkan karena lebih “bernuansa” syari’ah, dimana perda yang berprinsip
syari’ah itu hanya berlaku untuk daerah Nanggroe Aceh Darussalam. 
Sebagaimana diketahui bahwa daerah Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah
satu daerah yang mendapatkan otonomi khusus.
Apakah benar demikian adanya ? Sebenarnya setiap warga negara RI berhak
untuk memeluk dan menjalan ajaran agamanya sebagaimana diatur dalam UUD 1945
pasal 29.  Penerapan hukum Islam di Indonesia secara defacto dan dejure
 dapat di terima karena hukum islam  adalah merupakan sumber
penetapan hukum Indonesia, disamping hukum adat dan hukum perdata barat. Kalau
kita balik lembaran sejarah, ajaran Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia abad ke-7 kemudia abad ke 16 sampai dengan awal abad 19 (masa
penjajahan Belanda) hukum Islam telah berlaku di masyarakat dan hukum adat
menyesuaikan diri dengan hukum Islam.
Nuruddin al-Raniri menulis buku Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun
1678. Kitab ini merupakan kitab pertama yang disebarkan ke seluruh wilayah
Indonesia untuk menjadi pegangan umat Islam. Kitab ini oleh mufti Banjarmasin
Syekh Arsyad al-Banjari disyarahkan dan diberi judul Sabil al-Muhtadin (jalan orang yang mendapat petunjuk).
Buku tersebut menjadi pedoman dalam menyelesaikan sengketa antar umat Islam di
daerah kesultanan Banjar. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten juga
diterbitkan beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan dalam masalah
hukum keluarga dan warisan. Hal serupa juga dilakukan di wilayah kerajaan Islam
lainnya di Nusantara seperti Demak, Jepara, tuban, Gresik, dan Ngampel.
Kitab Muharrar dan Pepakem Cirebon serta peraturan yang dibuat oleh BJD
Clootwijk untuk daerah Bone dan Goa Sulawesi Selatan tetap berlaku dan
berkembang di kalangan umat Islam.  Keadaan tersebut berlangsung selama
dua abad (1602-1800) saat VOC berkuasa. Pasal 75 Regeering Reglement 1854, bagi
kaum muslim tetap diberlakukan hukum agamanya. Pernyataan tersebut berakhir
setelah pengadilan Belanda tidak mampu menerapkan Undang-Undang agama bagi bumi
putera dan akhirnya dibentuk Pengadilan Agama dengan nama salah yaitu Priesterraad atau pengadilan
pendeta
 melalui Stbl. 1882 No. 152. Priesterraad ini dibentuk di setiap
wilayah landdraad atau pengadilan
negeri. Adapun wewenangnya meliputi perkara-perkara antara orang Islam yang
diselesaikan menurut hukum Islam.
Pada tahun 1820 melalui Stbl. No. 22 pasal 13 ditentukan bahwa Bupati wajib
memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya pemuka agama dapat
melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam
soal perkawinan, pembagian pusaka dan yang sejenis. Adanya peraturan yang
ditujukan kepada Bupati berarti peradilan agama telah berlaku di seluruh pulau
Jawa.
Menurut analisis Daud Ali, hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat
dipilah menjadi dua. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis
yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan
masalah kebendaan yang disebut hukum mu’amalat (perdata). Bagian ini menjadi
hukum positif berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan
seperti perkawinan, warisan, dan wakaf. Kedua, hukum Islam yang bersifat
normatif yakni hukum Islam yang memiliki sanksi atau pidana. Bentuk kedua
tersebut dapat berupa ibadah murni atau hukum pidana. Masih menurut Daud
Ali  bahwa masalah pidana belum memerlukan peraturan perundang-undangan.
Sintesis Daud Ali tentang belum perlunya pemberlakuan peraturan
perundang-undangan tentang pidana Islam bersifat pribadi. Sementara, kondisi
sosial masyarakat saat ini sungguh sangat memprihatinkan dimana tingkat
kejahatan sangat tinggi yang mengakibatkan terganggunya ketertiban dan rasa
aman masyarakat. Padahal, menjaga kestabilan politik dan ketertiban umum
merupakan syarat mutlak bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional menuju
masyarakat adil dan makmur. Selain itu, terbentuknya masyarakat madani (civil society) merupakan dambaan masyarakat saat ini. Kestabilan politik dan keamanan
dapat mempengaruhi iklim investasi bagi pertumbuhan ekonomi negara yang saat
ini masih terpuruk akibat krisis. Untuk mengatasi berbagai problem sosial yang
dihadapi, hal itu dapat diatasi antara lain dengan berpegang teguh kepada
noram-norma agama. Bagi umat Islam, norma yang menjadi pedoman dalam kehidupan
yaitu norma agama atau disebut hukum Islam yang berasal dari Syari’ (pembuat syari’at).
Seiring dengan tuntutan reformasi, TAP MPR No. XV Tahun 1998 menetapkan
penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata
dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Untuk itu, dalam rangka melaksanakan TAP MPR No. XV Tahun
1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah maka ditetapkan Undang-Undang No. 2
dan 25 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 dan 84 sebagai langkah untuk
pemberdayaan (empowering) daerah dan pemberdayaan masyarakat melalui otonomi daerah. Semua kewenangan
pemerintah kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan,
peradilan, moneter dan fiscal, serta agama dan bidang-bidang tertentu
diserahkan kepada daerah secara utuh dan bulat serta menyeluruh yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Prinsip otonomi daerah berarti adanya kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan peraturan pemerintah yang ditetapkan tanggal 6 Mei tahun 2000,
pemerintah daerah dalam bidang politik dalam negeri dan administrasi publik
memiliki kewajiban untuk memelihara ketenteraman dan ketertiban umum.
Atas dasar ketenteraman dan ketertiban umum, pemerintah daerah beserta
dewan perwakilan rakyat daerah mengeluarkan peraturan daerah (Perda). Setiap
peraturan daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah harus disosialisasikan
kepada masyarakat di daerah tersebut agar tidak terjadi kesalahpahaman,
kesimpangsiuran, dan pro kontra yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan
masyarakat. Terutama yang dikategorikan sebagai “Perda Syari’ah”.
Memperhatikan pro kontra tentang perda syariah, terutama kasus surat edaran
Wako lhokseumawe nomor 002/2013, maka penulis memahami sebagai berikut :
Pertama; Sejatinya perda syariah itu tidak ada, hanya karena isi beberapa
perda yang mengatur tentang masalah perilaku, moral dan akhlak yang ditujukan
untuk menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik, namun ada sebagaian orang
yang suka dengan aturan seperti itu. Kedua; Peraturan perundang-undangan yang
sesuai dengan hukum Islam dapat di terapkan di Indonesia, yang proses penetapan
serta materi hukumnya berdasarkan aturan main yang berlaku di Indonesia.
Ketiga; Khusus pelaksanaan Syariat Islam secara eksplisit dapat dilaksanakan di
propinsi NAD, karena hal tersebut merupakan kekhususan NAD, dan telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan Indonesia. []
Oleh Fakhrurazi Reno Sutan[1]

[1] Penulis adalah Peneliti Perda Syariah Kota Tangerang  tahun 2007
(Studi Evaluasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan
Pelacuran Di Kota Tangerang), Ketua Jurusan Syariah Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat
Muhamadiyah, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Pinang Jakata Selatan.