Muhammadiyah: Antara Politik Praktis dan Substansialis

Abu Fariq al-Faruqi
( Sekretaris PW Muhammadiyah Sumbar, 1990-1995 )
James L. Peacock (1971), berpendapat bahwa Muhammadiyah telah membuktikan dirinya sebagai organisasi pembaruan Islam paling kuat di Asia Tenggara, bahkan mungkin di dunia. Atau seperti yang disimpulkan Solihin Salam (1965), “kelahiran Muhammadiyah merupakan manifestasi dari getaran jiwa yang hidup dan bergelora dalam dada masyarakat pada zamannya.”
Dunia yang dihadapi pendiri Muhammadiyah saat itu, sarat dengan kabut kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Umat Islam kian lama kian jauh dari kemurnian ajaran Islam. Penyakit TBC alias takhyul, bid’ah dan churafat—dalam segala bentuk dan manifestasinya merajalela di mana-mana. Kondisi masyarakat semacam itulah yang mendorong KH. Ahmad Dahlan menancapkan bendera Muhammadiyah pada 8 Zulhijjah 1330 H/18 November 1912 M.
Apa yang dikedepankan kedua pengamat di atas, agaknya tidaklah berlebihan. Kenapa? Dalam usianya 103 tahun,  menurut perhitungan Tahun Hijriyah, dan 100 tahun menurut Tahun Masehi, Muhammadiyah seakan tidak terpisahkan dari dinamika sosial kemasyarakatan di negeri ini. Dalam konteks sosial kemasyarakatan itu, secara fisik atau non-fisik aktivitas yang digumuli Muhammadiyah nampak cukup berdenyut dalam pelbagai manifestasi. Sebutlah misalnya, bidang pendidikan, kesehatan masyarakat, penyantunan kaumdhu’afa’ wa-almustadh’afin (lemah dan dilemahkan) serta kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya.
Khusus yang disebut di awal (bidang pendidikan), menunjukkan angka cukup signifikan. Sampai sekarang, Muhammadiyah mengelola tak kurang dari 172 buah Perguruan Tinngi; 1.143 SMA/SMK/MA; 1.772 SM/MTs/; 2.604 SD/MI; 7.623 TK ABA; 6.723 PAUD; 71 SLB; dan 82 Pondok Pesantren. Dari jumlah sebanyak itu, belum termasuk yang sedang dalam proses legalitas formal di Pimpinan Wilayah (PW) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
Ditilik dari sudut manapun, Amal Usaha semacam ini jelas memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap pembinaan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan nasional.
Beragam prestasi yang mampu digapai oleh Muhammadiyah dalam kegiatan sosial kemasyarakatan ini, dibarengi pula dengan sikap politik Muhammadiyah yang punya karakteristik tersendiri. Dalam perjalanan sejarahnya yang cukup panjang dan berliku, hubungan Muhammadiyah dengan politik memang  bersifat  khas  atau unik. Dikatakan unik, pada satu pihak Muhammadiyah mesti peduli terhadap masalah-masalah politik. Rentangnya, tidak saja yang menyangkut isu politik nasional,  tapi juga harus menyikapi secara cerdas situasi politik internasional. Sementara di pihak lain, Muhammadiyah secara institusional tidak boleh bergelimang dalam habitus politik praktis. Pasalnya,  karena  Muhammadiyah bukan organisasi politik, melainkan organisasi dakwah ‘Amar ma’ruf nahi mungkar’.
Pada Mukatamar  ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang, sikap politik Muhammadiyah itu ditegaskan secara gamblang. Pertama, Muhammadiyah dengan seluruh organisasi otonom (ortom) yang dipayunginya tidak berafiliasi, dan tidak ada hubungan organisatoris dengan Partai Politik apapun. Kedua, anggota Muhammadiyah dari berbagai tingkat secara pribadi bebas untuk memasuki atau tidak memasuki  Partai Politik yang sesuai dengan kesukaan yang bergayut pada hati-nuraninya. Sampai satu abad usia Muhammadiyah kini, keputusan politik itu, tetap menjadi acuan baku bagi Muhammadiyah.
Lalu kini, ketika Muhammadiyah dihadapkan kepada Parpol yang sekarang jumlahnya yang lulus verifikasi mencapai 10 buah sejatinya sikap dasar Muhammadiyah tidak boleh berubah. Sesuai dengan kepribadian dan jati dirinya, Muhammadiyah mesti tetap memelihara dan konsisten dengan  khitthah  (garis perjuangan) sebagai gerakan Islam, gerakan dakwah, dan gerakan tajdid (pembaruan), yang beraqidah Islam serta berlandaskan pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul yang maqbulah.
Diakui jujur, sejak era reformasi dan demokratisasi menggelinding di Indonesia pada 1998 lalu, cukup banyak elite Muhammadiyah yang ketiban durian runtuh. Mereka dapat peluang menyalurkan bakat dan darah politiknya di berbagai  Partai Politik.  Di Sumatera Barat (Sumbar) saja, beberapa aktivis Muhammadiyah asik bergelimang di area politik praktis. Sebutlah misalnya, Drs. H. Apris Yaman (Pembantu Rektor IV UMSB), Drs. Marhadi Efendi, MSi (mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumbar & Dekan Fakultas Ilmu Agama/FIA UMSB), dari PAN meloncat ke NasDem; Irdinansyah Tarmizi di Partai  Golkar; Darmadi dan Guspardi Gaus, dari PPP hijrah ke PAN; dan sederet nama lainya di kabupaten/kota. Dan, yang masih segar dalam ingatan, Drs. H. Dasril Ilyas (Ketua PW Muhammadiyah Sumbar) dipinang/dilamar oleh PAN untuk menjadi Caleg DPR RI, pada Pemilu 2014.
Andai diindang ditampi tareh (ditapis secara akurat), lalu disinkronisasikan dengan Keputusan Muktamar Ujung Pandang tadi, kemudian dikukuhkan kembali pada Muktamar Jakarta, pada 8 hingga 11 Juli 2000, sebenarnya, keaktifan mereka di Parpol sama sekali bukan atas nama Muhammadiyah, dan bukan pula membawa jubah Muhammadiyah.  Makanya, kalau mereka memanfaatkan fasilitas Muhammadiyah sebagai pendukung politik, apalagi politik kualitas rendah yang berorientasi pragmatis dan materialistis, seperti yang melanda segelintir politisi Islam belakangan ini, Muhammadiyah oleh karena itu, sejatinya punya kekuatan moral untuk meluruskannya. Kiat yang ditempuh, tentu bukan dengan cara frontal dan emosional. Tapi, secara bijak, persuasif, edukatif dan dialogis. Dalam konteks ini, bukankah di tubuh Muhammadiyah ada Lembaga Hikmah yang dapat menjembatani antara politisi Muhammadiyah dengan ‘Rumah Gadang’ Muhammadiyah.
Kendati Muhammadiyah bukan Parpol, dan tidak ada sangkut-pautnya secara organisatoris dengan Parpol, bukan berarti Muhammadiyah apatis dan cuek setengah mati terhadap politik. Dalam ‘kaca-mata’ Muhammadiyah, politik atau assiyasah adalah wahana dan sarana cukup strategis bagi transformasi dakwah Islam ke depan. Di bawah ini, penulis mencoba mengedepankan bagaimana peran politik substansial (hight politic) Muhammadiyah yang bersifat non-praktis itu.
Pertama, Muhammadiyah secara kelembagaan sejatinya memainkan fungsi sebagai kelompok kepentingan dan kelompok asosiasi yang selalu menyuguhkan kontrol politik; memengaruhi pengambilan kebijakan politik; memainkan public opinion; menghidangkan pendidikan budaya dan etika politik; mengayunkan lobby dengan pelbagai komponen yang bersentuhan dengan Muhammadiyah; merajut komunikasi personal baik internal maupun eksternal; dan pada situasi tertentu tak ada salahnya menggelindingkan protes secara sehat, cerdas dan dewasa, dan fungsi-fungsi politik tidak langsung lainnya. Baik yang konvensional maupun non-konvensional sesuai dengan kepentingan, kondisi dan karakteristik yang dimiliki Muhammadiyah.
Peran-peran politik tidak langsung ini mesti dimainkan secara efektif dan artikulatif. Sehingga memberikan bobot tekanan dan implikasi yang meluas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada aspek inilah terasa pentingnya perangkat-parangkat konsepsional, fasilitas, finansial, kinerja organisasi, dan potensi sumber daya manusia yang bernas dan mumpuni. Sebab, tanpa dukungan yang konkrit itu, maka peran politik Muhammadiyah tidak bakal efektif dan produktif seperti didambakan banyak pihak.
Kedua, yang tak kalah pentingnya adalah peran secara personal. Peran ini dilakonkan oleh orang-orang Muhammadiyah yang tersebar di mana-mana semisal:  di Parpol, di barisan panjang legislatif, dan di habitat eksekutif. Atau mereka yang berada di jalur institusi kenegaraan/pemerintah, di BUMN, BUMD dan lainnya, sesuai  posisi dan fungsi masing-masing. Peran individual juga dapat dimainkan oleh kader-kader Muhammadiyah di dunia swasta dan kaum profesional  sesuai pula kapasitas masing-masing. Peran itu dilakukan secara konsepsional, simultan, dan memiliki basis, visi dan misi serta moral yang jelas. Baik bagi kepentingan internal Muhammadiyah maupun untuk kepentingan umat dan bangsa serta dunia kemanusiaan secara makro.
Khatimah! Guna menyegarkan ingatan dan sekaligus agar Muhammadiyah tidak ke mana-mana–tapi ada di mana-mana, akan lebih afdal diinap-inapkan kembali pesan moral plus transendental yang diwariskan KH. Ahmad Dahlan kala membidani Muhammadiyah 100 tahun lalu: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, tapi jangan mencari hidup (dengan memperalat) Muhammadiyah.” Nun wal qalami wama yasturun. Fastabiqul khairat! [ ]