Jangan Meninggalkan Keturunan Yang Lemah

H. M. Abu Fariq Al-Faruqi
Sekretaris PW Muhammadiyah
Sumatera Barat 1990-1995
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. An Nisa’ : 9)
Kaum muslimin Rahima kumullah!
Kita agaknya menyadari,
kerapuhan moral yang menggeregoti generasi muda tidak hanya karena sistem
proses belajar-mengajar yang kering makna selama ini di lembaga-lembaga
pendidikan kita. Kerusakan moral lebih disebabkan runyamnya situasi dan
kondisi  yang menggeliat di luar ruang sekolah. Dan, dalam kondisi
carut-marut seperti sekarang, lahirlah sebuah kebijakan dari penguasa negeri.
Yaitu menyelenggarakan pendidikan karakter yang secara legalitas formal
diamanahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.
Termasuk institusi pendidikan di bawah tudung Kemendikbud tersebut. Sebut saja
SD Negeri, SMP, SMA, SMK dan lain sebagainya. Selain itu, Kementerian Agama
RI—tidak terkecuali Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN); Madrasah Tsanawiyah
Negeri (MTSN); serta Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan lainnya juga mendapat
kepercayaan mengayunkan pendidikan karakter tersebut.
Jauh sebelum itu, sebenarnya
Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul yang shahih dan maqbulah
telah mengamanahkan agar kita berikhtiar secara gigih mewujudkan generasi muda
yang berkarakter sebagaimana tertuang dalam Q.S. An Nisa’ ayat 9 yang telah
khatib bacakan di awal khutbah tadi.
Kaum muslimin Rahima kumullah!
Bertolak dasar dari pendapat
jumhur ‘ulama dan mufassirin, kalimah dhi’afa (lemah) yang terpaut dalam Q.S. An
Nisa’ ayat 9, tidak hanya berarti lemah dalam artian fisik, atau badaniyah.
Lebih jauh dari itu, kita selaku orang tua—yang berposisi sebagai pendidik
utama dalam keluarga juga difardhukan oleh Allah Swt—untuk tidak meninggalkan
anak dan generasi yang lemah dari segi ‘aqidah, ibadah, akhlaqul karimah, dan
juga dalam membingkai hidup bermu’amalah duniawiyah.
Dalam bidang ‘aqidah misalnya,
kita harus menanamkan kepada anak-anak sejak dini bahwasanya Allah Swt itu Esa.
Tidak hanya Esa dalam dzat, tetapi juga Esa di dalam sifat dan perbuatan. Mari
kita camkan ke petala hati firman-Nya:
“Katakanlah: Dia-lah Allah,
Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada ber-anak dan tiada diper-anakkan. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia.”(Q.S. Al Ikhlash : 1- 4)
Kaum muslimin Rahima kumullah!
Bila substansi Q.S. Al Ikhlash
ayat 1-4 ini benar-benar terhunjam ke dalam jiwa anak/generasi muda, insya
Allah mereka akan terhindar dari perbuatan-perbuatan syirik dalam segala bentuk
dan manifestasinya. Tidak saja syirik warisan zaman jahiliyah—tetapi
anak/generasi muda kita juga akan terpelihara dari syirik modern yang kini
sudah menjalar ke komunitas paling bawah sebagaimana diumbar lewat media cetak,
televisi dan internet. Na’u zdubillhi min dzalik!
Sekaitan dengan hal yang
mengkhawatirkan itu, semua pihak sejatinya ikut bertangung-jawab mewujudkan
anak/generasi muda yang berkarakter. Caranya, selain mendidik mereka di
wadah-wadah pendidikan formal, informal dan non formal, kita orang tua juga
dituntut dan dituntun menadahkan tangan kepada Allah Swt sembari melafadzkan
seuntai do’a. Misalnya:
“Dan orang-orang yang berkata
(berdo’a): “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertaqwa.”
 ( Q.S.
Al Furqan : 74)
Kaum muslimin Rahima kumullah!
Lalu pertanyaannya! Bagaimana
kiat, kaifiat, dan proses pembentukan karakter anak dan generasi muda itu? Dr.
Henmaidi, Dosen Universitas Andalas Padang, memaparkan proses pembentukan
generasi berkarakter dapat dikerucutkan ke dalam lima tahap, yang masing-masing
tahap sepertinya berjalin-kelindan. Pertama,diawali dari
pengetahuan dan pemahaman atas suatu karakter. Kedua, proses meniru dan menerapkan.Ketiga, pembiasaan—dimana karakter itu mulai
dijadikan kebiasaan. Keempat, pembudayaan—dimana tidaklah cukup
segelintir orang saja yang membiasakan berkarakter, sementara lingkungan—dalam
artian luas semakin merisaukan. Kelima, baru menjadi karakter. Nah! Ketika
sudah sampai pada tahap membiasakan,  sifat itu pun menjadi karakter.
Nyaris sama dan sebangun dengan
Henmaidi, Prof. Dr. H. Azmi, MA menghidangkan pendidikan karakter tersebut, ke
dalam dua sisi. Yaitu sisi personal dan sisi sosial. Sisi personal menjamah
sikap terhadap diri sendiri. Sedangkan sisi sosial, bersentuhan dengan sikap
terhadap di luar diri sendiri. Dipiuh dan dipilin (diperas) lagi oleh mantan
Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat ini, menjadi lima sikap (attitude). Misalnya (1)
memupuk sikap saling menghormati dan toleran pada perbedaan; (2)
menumbuh-kembangkan sikap kebersamaan dan persamaan (musawwah/egaliterianisme);
(3) memupuk kebiasaan pemurah dengan mengulurkan bantuan—moral dan material
terhadap orang lain; (4) berkomunikasi secara baik dengan orang lain—dibarengi
sikap ramah dan hormat; (5) memelihara, dan atau peduli pada kemaslahatan umum.
Kedua sisi (sisi personal & sosial) inilah yang pada gilirannya membentuk
warga negara yang baik—“dan inilah tujuan utama dari pendidikan nasional”,
imbuh Azmi. Sedangkan Kasra Scorpi, seorang wartawan surat kabar terkemuka di
Padang, menyuguhi kita bahwa karakter merupakan watak yang teraplikasi dalam
bentuk sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan nilai-nilai ke-Tuhanan,
nilai-nilai sosial dan nilai-nilai hukum untuk menghadapi sesuatu. “Makanya
kita membutuhkan karakter berupa sikap dan perilaku terhadap kehidupan,
beragama, bersosial, berbudaya, berbangsa dan bernegara”, kata Kasra Scorpi.
Terlepas dari cukup beragam dan
bervariasinya—baik aspek isi, sudut pandang dan style para para pakar tadi dalam menatap
hal-ihwal karakter plus pendidikan berkarakter—tetapi yang
jelas semuanya punya beberapa kesepahaman terkait dengan proses pendidikan
karakter: Pertama, pentingnya
keteladanan dari semua pihak. Kedua, tidak perlu menambah mata ajar/bidang
studi di sekolah/perguruan tinggi. Ketiga, dana yang dialokasikan
untuk mendaya-ungkit aspek perangkat lunak kependidikan akan lebih afdhal
dimanfaatkan untuk membangun perangkat keras.
Dan, yang disebut penggal awal
misalnya, nyaris tidak ada perbedaan, semua mereka berobsesi memosisikan
contoh-teladan (qudwah-hasanah)
dari semua pihak dan komponen bangsa terhadap anak didik, dan atau para
generasi muda. Konkretisasinya, semua stakeholders kependidikan (guru/dosen, karyawan,
pimpinan dan lainnya) sejatinya memberikan contoh-teladan. Lingkup
orientasinya, mesti menjamah semua sisi dan kisi kehidupan. Seorang guru/dosen
akan gagal mendisiplin peserta didik, misalnya agar murid/mahasiswa harus hadir
15 menit di ruangan belajar, sebelum proses belajar mengajar dimulai—sementara
gurunya sendiri datang terlambat. Meski misalnya kadang berdalih terjebak arus
kemacetan—namun anak didik bisa-bisa kehilangan kepercayaan. Bila sudah begitu,
materi pendidikan yang dihidangkan guru/dosen bisa-bisa pula tidak hinggap di
sekeping kalbu anak didik. Bukankah dalam teori pendidikan, mesti terbentang
jembatan hati (mawaddah fi
al-qurba
) antara subjek didik (al-mu’aalim/al-mudarris)
dan objek didik (al-mad’u)?
Untuk mengkomunikasikan
(menginternalisasikan) seabreg norma-norma dan nilai-nilai positif, sepertinya
sudah tak cukup lagi hanya lewat komunikasi verbal. Yang didambakan
siswa/mahasiswa, masyarakat tidak lain adalah komunikasi non verbal. Dan,
secara substansial, kondisi sosial objektif semacam itulah yang disebut
keteladanan tadi.
Kaum muslimin Rahima kumullah!
Sedangkan yang bertali-temali
dengan penambahan mata ajaran, dan atau bidang studi, agaknya memang tidaklah
diperlukan. Soalnya, bukankah semua mata ajaran/bidang studi—baik berkategori
eksakta (IPA) maupun yang termasuk rumpun ilmu sosial (IPS)—pada hakekatnya bisa
dikondisikan bagi proses pembentukan karakter peserta didik? Dan, pada hemat
kita dalam kerangka inilah diperlukan mendongkrak kompetensi subjek didik.
Cakupannya? Tidak hanya berkutat pada kompetensi substantif—semisal
revitalisasi, redefinisi dan reposisi Al Islam sebagai sumber dari segala
sumber ilmu pengetahuan (Q.S. Al Mujadalah ayat 11 & Surat Al ‘Alaq ayat
1). Tetapi, yang lebih penting dari itu, juga membenahi kompetensi metodologis
(sistem dan mekanisme proses belajar mengajar).
Kaum muslimin Rahima kumullah!
Melacak lebih jauh, betapa
pentingnya membangun pendidikan berkarakter, dan atau membenahi infrastruktur
kependidikan, sinkron dan seirama dengan satu adagium yang diapungkan oleh
Francis Fukuyama dalam bukunya “The
Great Distruption”
 (1997),
“Setiap kegalauan besar, mesti dianyam satu rekonstruksi besar. Kiatnya,
tumbuhkan team work (kerjasama tim) dan trust 
(kepercayaan) berskala besar – demi menjuluk kemenangan yang lebih besar.”
Demikianlah khutbah kita pada
Jum‘at yang penuh berkah dan maghfirah ini. Fa’tabiru ya ulil abshar. [ ]