Islam, Islami, atau Muslim?



Dr. Ahmad Hasan Asy’ari Ulama’i  
Dalam fenomena kehidupan kita, sering kita jumpai istilah yang berkaitan dengan “islam”. Ada istilah “muslim”, juga istilah “islami”. Kemudian muncul istilah (entah mana yang tepat) “negara islam”, “negara muslim”, serta negara “Islami”. Ada pula istilah “busana muslim”, “busana muslimah”, “busana Islam”, serta busana Islami”. Dan juga ”sekolah islam”, ”sekolah muslim”, serta sekolah islami” dan sebagainya.
Lambat laun, istilah yang disandarkan kepada kata ”islam, muslim atau islami” ini digunakan sebagai sandaran atas apapun (bahasa Jawa: latah), dengan tujuan untuk ”melindungi suatu kepentingan”. Apapun jika dilabeli islami menjadi satu-satunya yang selamat ”dunia akhirat”. Hukum islam adalah hukum dari Tuhan, dan muslim-lah yang paling berhak untuk menguasai dunia, bahkan akhirat.
Sifat ”latah” ini pula yang membuat ”geli” sebagian pengamat. Sebab, tak jarang hanya karena seseorang berjubah, lalu dianggap muslim. Hanya karena menggunakan demokrasi, dianggap sebagai negara yang tidak islami. Hanya kerana perawakan bule, dianggap sebagai bukan muslim, dan lain-lain.  

Asal Kata Islam

Untuk memperoleh sedikit gambaran tentang jawaban masalah di atas, mari kita telusuri asal-usul kata ini. Semua kalimat di atas berakar dari bahasa Arab, dalam bentuk kata kerja aslama(menyerahkan diri, menerima). Bentuk mashdarnya adalah islam. Adapun subjeknya dinamakan muslim. Dan segala hal yang dinisbahkan kepada sifat di atas dinamai islami.
Pada mulanya, term islam ini lebih menunjuk pada perbuatan pribadi atau sikap pikiran dari pada sebuah sistem keagamaan. Orangnya disebut muslim, dan sifat kepatuhan dalam konteks ini dinamai ”islami”.
Dalam al-Quran digambarkan bahwa Allah menyempurnakan Islam sebagai agama pada masa Nabi Muhammad (Qs al-Maidah 5: 3). Namun para Nabi sebelum Nabi Muhammad pun (Ibrahim, Ismail, Ishaq dan lainnya Qs al-Baqarah 2: 128) juga digambarkan sebagai orang-orang yang Islam. Dalam konteks ini, ajaran Nabi Muhammad identik dengan ajaran-ajaran para nabi sebelumnya. Dan ”Islam” yang dapat kita pahami pada ayat ini, sebagai sebuah tata nilai ilahiah yang universal, setidaknya dibangun dari tiga hal: ketauhidan, ritual, dan moral. Orang yang bertauhid dan melakukan ritual yang diyakini, serta bermoral sesuai ajaran ini, dinamai muslim.
Dari perkembangan makna Islam tersebut, secara umum dapat dinyatakan bahwa “Islam” adalah sebuah istilah bagi sikap tauhid (tunduk dan patuh hanya pada Tuhan Yang Maha Esa), sebagaimana pengakuan “Islam” oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad. Sudah barang tentu, untuk merealisasikan ketundukan itu, mereka menjalankan perintah-perintah Tuhan, melalui wahyu yang disampaikan kepada mereka.
Dalam perkembangannya, proses “pen-tauhid-an” ini mengalami berbagai hambatan dan penyimpangan, termasuk soal sistem peribadatannya. Pada masa Nabi Muhammad, puncak ketauhidan telah disempurnakan, termasuk sistem peribadatan dan sistem moral di dalamnya. Sehingga, orang yang menerapkan keseluruhan ajaran secara sempurna (kafah) akan menampilkan sosok ideal manusia (khair al-nas). Yang pada akhirnya, bila berkumpul dengan mereka-mereka yang menerapkan ajaran Islam secara sempurna tersebut akan membentuk komunitas ideal (khair ummah).
Idealitas Islam
Berdasarkan uraian di atas, setidak-tidaknya ada tiga aspek yang penting di dalam memahami Islam secara sempurna, yaitu:
Pertama, aspek aqidah, yaitu sistem kepercayaan yang hanya berorientasi kepada keesaan Tuhan (tauhid), yang diikuti dengan sikap hati dan pikiran (commitment) untuk tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, semata-mata untuk kebaikan dirinya dan kasih (rahmah) dari-Nya
Kedua, aspek ibadah, yaitu sistem training yang akan membentuk pribadi dan sosial yang tangguh sebagai salah satu perwujudan commitment manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Seperti penetapan misi (bersyahadat), shalat, puasa, zakat dan haji (secara khusus), dan secara umum seluruh sistem pengabdian manusia harus dipusatkan dalam rangka memelihara dan  mengokohkan commitment di atas. Aspek ibadah dalam arti yang umum inilah yang kemudian disebut sebagai aspek muamalah.
Ketiga, aspek muamalah, yaitu sistem kehidupan bermasyarakat sebagai aktualisasi atau visualisasi commitment manusia terhadap Tuhannya. Kesempurnaan ketiga aspek ini akan menampakkan goal akhir penciptaan Allah terhadap manusia. Yaitu manusia yang hanya mengabdi Kepada-Nya, serta memberikan kerahmatan bagi seluruh alam semesta (rahmatan li al-‘alamin), sekaligus sukses sebagai khalifah di bumi yang bertugas memakmurkannya.
Keseluruhan idealisasi ajaran Islam ini telah dituangkan dalam wujud wahyu al-Qur’an serta contoh kongkrit (keteladanan) dari Nabi Muhammad SAW. Secara integral, hal ini tampak dalam sebuah sample kehidupan bermasyarakat, yaitu masyarakat Arab pada masa Nabi, yang di dalamnya memuat pelajaran berharga di dalam memahami konsep ajaran Islam secara ideal.
Islam Kultural
Ajaran Islam ideal yang telah dituangkan di dalam paparan di atas, dalam konteks sosial historis, diterapkan oleh masyarakat dengan ruh yang diteladankan Nabi Muhammad SAW. Bagi Masyarakat Arab, masa sahabat, dan tabi’in, maka tidak terlalu banyak perubahan dari alur kehidupan Nabi. Meskipun, ada beberapa hal yang baru, seperti pembukuan al-Qur’an, sistem kerajaan yang mengatasnamakan daulah Islam, dan sebagainya.
Namun bagi masyarakat sekarang, dengan kehidupan yang jauh berbeda, terlebih di wilayah yang jauh dari dunia Arab, sudah barang tentu menuntut sebuah renungan yang lama dan mendalam untuk memahami ruh ajaran Islam yang ideal. Apalagi, Islam dalam konteks sejarah telah mengambil bentuk yang dibakukan di zaman dan wilayah tertentu. Sehingga, seringkali masyarakat yang jauh (baik dari segi wilayah maupun masa dari kehidupan Rasulullah SAW) terjebak dalam pemahaman yang bersandar pada “Islam kultural”, yang karena sedemikian bakunya kemudian dianggap sebagai “Islam ideal”.
Dari sekilas pemahaman di atas, perlu kiranya redefinisi sekaligus rekonstruksi pemahaman terhadap berbagai istilah yang disandarkan pada term “Islam”.
“Islam” sebagai sikap ketauhidan dapat dimaknai sebagaimana diajarkan oleh para nabi, hingga nabi terakhir Muhammad SAW. Sementara “Islam” sebagai sistem keagamaan yang paripurna dapat dimaknai sebagai commitment individu untuk bertauhid kepada Allah, sekaligus melaksanakan training yang diperintahkan, berikut meng-aplikasikan-nya dalam kontek bermasyarakat. 

Mereka yang mengaku Islam, atau secara formal bersertifikat “Islam”, namun tidakcommit, apalagi tidak mematuhi perintah-Nya, berarti ia masuk dalam kategori inkar, nifaq, fisqdan sejenisnya. Atau dalam bahasa kita, hanya “Islam KTP”Oleh karena itu sebutan “negara Islam” adalah negara yang menerapkan secara paripurna baik unsur pimpinan, rakyat, serta sistem negaranya dengan ajaran Islam. Hal tersebut sebenarnya mustahil, dan tidak pernah dianjurkan dalam al-Qur’an. Bahkan, pada masyarakat Madinah, yang sering diidentikkan dengan masyarakat sebagai negara Islam, tidak ada pemenuhan atas unsur-unsur tersebut. Karena di dalam negara Madinah inipun, terdapat warga yang bukan “Islam”. 

Demikian pula halnya dengan  “busana Islam”, yang tidak hanya menampilkan mode pakaiannya semata, tetapi merupakan busana yang ketika dikenakan akan mencitrakan ajaran Islam. Dalam hal ini pun, tidak ada standar mode yang baku. Hanya kriterialah yang baku, yaitu menutup aurat. Dan menutup aurat ini pun, terjadi silang pendapat dalam memahami nash akan batasan-batasannya.

Term “Islami” adalah aktivitas kehidupan yang sejalan dengan ruh ajaran Islam ideal, bukan ajaran Islam kutural, sebab hal itu dapat menjebak kita pada semangat “Arabi” dan sejenisnya.
Berangkat dari istilah “Islami” ini, maka tidak ada yang baku bagi kultur tertentu untuk diklaim sebagai bentuk aktivitas yang “Islami”. Bagi setiap kultur, dimungkinkan untuk melaksanakan aktivitas dengan identitas “Islami”, sekalipun dalam wujudnya berbeda satu kultur dengan kultur lainnya. Maka istilah “negara Islami” mungkin digunakan untuk sebuah negara selama seluruh komponen di dalamnya (pemimpin, rakyat dan sistem negara) menjalankan ajaran Islam ideal, sesuai dengan konteks kulturnya masing-masing. Demikian pula dengan “busana Islami”, mungkin diperuntukkan untuk sebuah busana selama mengikuti batas-batas “menutup aurat” dalam konteks kulturnya. Sekali pun bentuknya boleh jadi berbeda dengan bentuk “busana Islami” dalam kultur yang berbeda.
Adapun term “muslim” adalah sebutan untuk orang yang melaksanakan ajaran “Islam ideal”. Saat ini, sebutan ini telah melebar pada mereka yang hanya “Islam KTP”. Maka sebutan “negara muslim”, lebih tepat digunakan untuk sebutan negara-negara yang memang penduduknya mayoritas muslim, pemimpinnya muslim juga sistem negaranya mayoritas dari ruh ajaran Islam (sekalipun lebih banyak pada “Islam kultural”). Demikian pula dengan penyebutan “busana muslim atau muslimah”. Penyebutan ini lebih tepat karena busana tersebut banyak dikenakan oleh umumnya umat Islam (yang sudah barang tentu sesuai dengan ajaran Islam kultural).
Penutup

Demikianlah, beberapa wacana “Islam” dan beberapa istilah yang terkait berikut penggunaan istilah ini dalam kehidupan bermasyarakat, yang sering saling bertukar atau bercampur aduk, sehingga menimbulkan banyak kesalahpahaman di antara ummat itu sendiri. 

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa esensi ”Islam” adalah ketundukan itu sendiri. Yakni, ketundukan kepada Allah SWT dengan segala hal yang bersumber dari-Nya, termasuk yang diturunkan melalui rasul-rasul-Nya.
Berdasarkan renungan singkat di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, apapun yang disandarkan kepada ”Islam” (seperti agama islam, negara islam, ajaran islam dan lainnya) menunjuk pada tata nilai atau ajaran yang memuat “3 in 1” (tauhid, ibadah, dan akhlaq) secara integral. Artinya, agama islam merupakan agama yang memuat tata nilai di atas. Ajaran islam maupun negara islam, juga demikian. Hanya saja untuk ”negara islam”, nyaris tidak dijumpai. 

Kedua, Siapapun yang bertauhid, beribadah dan berakhlak Islam secara integral, maka disebut ”muslim”. Bertauhid tetapi tidak shalat disebut ”kafir”. Bertauhid tetapi tidak berakhlak disebut ”bukan mukmin”, dan sebagainya. Maka sebutan negara muslim lebih tepat untuk menyebut negara yang dihuni semua penduduknya ”muslim”. Demikian pula dengan istilah ”busana muslim”, artinya busana yang dikenakan semua ”muslim”. Dalam pengertian ini, nyaris tidak dijumpai negara muslim maupun busana muslim (batas-batasnya tidak jelas). 

Ketiga, adapun term ”islami” merupakan gambaran terhadap apapun yang selaras dengan nilai-nilai ketauhidan, ibadah dan akhlaq ”Islam”. Term inilah yang cenderung fleksibel, bisa mengambil utuh maupun parsial. Untuk menyebut negara Islami ataupun busana islami secara utuh, nyaris tidak ditemukan. Namun secara parsial, ia dapat dijumpai. Seperti negara yang memberlakukan aturan main berdasar musyawarah, sekalipun person-nya non muslim. Atau, busana yang menutup aurat, sekalipun penggunanya non muslim dan lainnya, maka dapat dinilai sebagai negara islami ataupun busana islami pada sisi tersebut. 
Dr. A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag., adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dan anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah