TASYAHUD Awwal pada setiap dua rakaat dalam Shalat yang empat rakaat

Oleh :  Dadang
Syaripudin.
A.   Pendahuluan
Apakah  shalat itu? Tampaknya ulama fiqh telah sepakat
menkonsepsikannya sebagai yang terangkum dalam definisinya
أقوال وأفعال مخصوصة مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم[1]
“Serangkaian kata-kata dan gerakan
anggota tubuh tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam”
Bagaimana
shalat itu dilakukan? Dalam hal ini pun,  secara umum dapat dikatakan terjadi kesepakatan,
baik dalam kayfiyat maupun dalam urut-urutannya. Mulai dari takbirotul al-ihram,
berdiri, ruku`, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, sujud
lagi, itulah satu raka`at shalat. Gerakan yang sama diulang untuk yang kedua
kali, jika shalatnya hanya dua raka`at setelah itu duduk untuk tasyahhud
dan langsung diakhiri dengan salam (taslim) dengan menolehkan muka ke
kanan dan ke kiri. Tetapi jika  shalatnya
tiga rakaat, setelah duduk untuk tasyahuud, berdiri lagi dengan
mengulangi gerakan yang sama, setelah sujud yang kedua pada raka`at ketiga dilanjutkan
dengan duduk untuk tasyahhud dan diakhiri dengan salam dengan menolehkan
muka ke kanan dan ke kiri. Demikian juga, jika shalatnya empat raka`at, setelah
sujud yang kedua pada raka`at ketiga, berdiri lagi dengan mengulangi gerakan
yang sama, setelah sujud yang kedua pada raka`at keempat, dilanjutkan dengan
duduk untuk tasyahhud akhir dan diakhiri dengan salam dengan menolehkan muka ke
kanan dan kekiri. Selanjutnya, duduk untuk tasyahhud pada raka`at kedua dalam
shalat yang tiga atau empat raka`at, lazim disebut dengan tasyahhud awwal,
sedangkan duduk untuk tasyahhud pada raka`at ketiga untuk shalat yang
tiga raka`at atau pada raka`at keempat untuk shalat yang empat raka`at lazim
disebut dengan “tasyahhud akhir”.
Di aliran dan
madzhab mana pun yang mu`tabar, dengan kayfiyat (tatacara) seperti
itulah shalat dilakukan. Kalupun terjadi perbedaan, hanyalah dalam shifat
dan hay’at-nya saja atau dalam hal kedudukan hukumnya.
Tasyahhud
pada setiap dua raka`at
Tasyahhud pada setiap dua raka`at, sebagaimana
disebutkan di atas,  merupakan salah satu
ketentuan umum shalat. Hal ini didasarkan kepada hadits
dari Siti `Aisyah r.a. dan `Abdullah ibn Mas`ud r.a..
1. Hadits
Siti `Aisyah r.a.
Hadits dari `Aisyah r.a. tentang
“Membaca al-Tahiyyat” pada setiap dua rakaat shalat untuk pertama
kalinya diriwayatkan oleh `Abd al-Razaq ibn Hamam al-Shan`ani (126-211) dalam al-Mushannaf-nya[2].
عن
عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول التحيات بين كل ركعتين
“Ada Rasulullah saw mengatakan “al-tahiyyat” di
antara dua raka`at”
Ulama hadits
berikutnya banyak pula yang meriwayatkan (takhrij) hadits dari `Aisyah
di atas, antara lain: 1) Ishaq ibn Ibrahim(161-234); 2) Ahmad
ibn Hanbal (164-261); 3)Abu Dawud al-Sijistani  (202-275); 4) Muslim
(206-261); 5)Ibn Khuzaymah  (223-311); 6)
Al-Thabrani (260-360); 7) Abu `Awanah (316); 8) Ibn
Hiban (354); dan 9) al-Bayhaqi
(384-458) dengan redaksi matan sebagai berikut:
في رواية إسحاق: وكان يقرأ في كل
ركعتين التحية
[3] وفي رواية أحمد: وكان يقول في كل
ركعتين التحية
[4] وفي رواية أبي داود: وكان يقول في كل
ركعتين التحيات
[5] وفي رواية مسلم: وكان يقول في كل
ركعتين التحية
[6] وفي رواية بن خزيمة: كان يقول في الركعتين التحية[7] وفي رواية الطبراني: وكان يقول في كل
ركعتين التحيات
[8] وفي رواية ابن عوانة: كان رسول الله  صلى الله عليه وسلم يقول في كل ركعتين  التحية[9] وفي رواية بن حبان: وكان يقول بين كل
ركعتين التحية
[10] وفي رواية البيهقي: وكان يقول في كل
ركعتين التحية
[11]فكان
يقول بين كل ركعتين تحية
[12] وكان يقول بين كل ركعتين تحية[13]
Dengan
asumsi `Abd al-Razaq masa hidupnya lebih dulu daripada para periwayat  lainnya, maka hadits yang diriwayatkannya itu
dapat diposisikan sebagai al-riwayat al-ula, sedangkan yang lainnya diposisikan
sebagai tawabi` atau syawahid. Seluruh jalur periwayatannya
bersimpul pada Budayl ibn Maysaroh dari Abu al-Jawza dari `Aisyah
r.a.
Melalui Budayl ibn Muyassaroh inilah para imam mudawwin hadits
memperoleh hadits tersebut melalui guru-gurunya masing-masing.
Mengingat
Imam Muslim al-Nisaburi berhasil men-takhrij hadits ini dalam kitab
shahihnya — dengan asusmi rijal muslim secara umum dipandang kuat dan
kreadibel oleh para ulama kritikus hadits — maka penelitian terhadap para
periwayat hadits ini tidak akan dilakukan. Hanya saja, ditemukan “catatan
kecil” dari para kritikus hadits tentang Abu al-Jawza sehingga hadits yang
diriwayatkannya ini dipandang ber-`illat dari segi sanad oleh sebagian
para kritikus hadits.
Siapakah
Abu al-Jawza itu? Nama lengkapnya adalah Aws ibn `Abdillah al-Ribi`i[14] ada
juga yang menyebutkan Aws ibn Khalid al-Tabi`i[15]
al-Bashri[16]
Ia termasuk salah seorang yang melakukan perlawanan terhadap al-Hajaj[17], mati
terbunuh pada tahun 83 pada peristiwa al-Jamajim, ia sempat hidup
bergaul dengan Ibn `Abbas  r.a. dan `Aisyah
r.a. selama 12 tahun, tidak ada satu ayat pun dari alquran yang tidak ia
tanyakan (tafsirannya) kepada kedua orang shahabat itu. Al-Bukhari dalam al-Tarikh
al-Kabir
-nya, setelah ia mengeuraikan biografi singkat Abu al-Jawza’
menyebutkan fi isnadih nazhar[18]. Selain
dari `Aisyah dan Ibn `Abas,  ia menerima
hadits juga dari `Abd Allah ibn `Amr[19] dan Abu
Hurayrah[20],
Shafwan ibn `Asal[21].
Menurut al-Zhahabi dalam Mizan
al-`Itidal
setelah mengutip pernyataan al-Bukhari tersebut, ia menambahkan wa
yakhtalifun fih
[22] karena
yang bersangkutan menurut Ibn `Adi, tidak mendengar langsung dari shahabat
seperti Ibn Mas`ud dan `Aisyah serta yang lainnya. Ia itu dhaif, tetapi
hadits-haditsnya itu mustaqimah dan mencukupi dari menyebutkan sesuatu
darinya di tempat ini[23].  Ibn `Abd al-Barr dalam al-Tamhid-nya[24],
menyatakan sebagai berikut:
قال أبو عمر اسم أبي
الجوزاء اوس بن عبد الله الربعي لم يسمع من عائشة وحديثه عنها مرسل
Pernyataan
singkat Ibn `Abd al-Bar ini banyak dikutip ulama madzhab Syafi`iyah dan yang
sealiansi ketika mengkritisi hadits Abu al-Jawza dalam berbagai kitabnya,
seperti Ibn Hajr al-`Atsqalani dalam Talkhish-nya[25], Umar
ibn Ali dalam Khulashah-nya[26],
al-Syaukani dalam Nayl al-Awthar[27], Ahmad
ibn `Abd al-Rahim dalam Tuhfat al-Tahshil[28]  dan al-Shan`ani dalam Subulus al-Salam[29]
أخرجه مسلم وله علة وهي أنه أخرجه مسلم من
رواية أبي الجوزاء بالجيم والزاي عن عائشة 
قال ابن عبد البر هو مرسل أبو الجوزاء لم يسمع من عائشة وأعل أيضا بأنه
أخرجه مسلم من طريق الأوزاعي مكاتبة
Akan tetapi kritik al-Shan`ani di
atas, dengan menyebutkan tambahan illat hadits dengan “mukatabah
tampaknya salah alamat, seharusnya tidak ditujukan pada hadits Abu
al-Jawzai di atas, tetapi mungkin yang dimaksudkan adalah hadits riwayat Muslim[30] berikut
ini:
حدثنا محمد بن مهران الرازي حدثنا الوليد
بن مسلم حدثنا الأوزاعي عن عبدة أن عمر بن الخطاب ثم كان يجهر بهؤلاء الكلمات يقول
سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك ولا إله غيرك
وعن قتادة أنه كتب إليه يخبره عن أنس بن
مالك أنه حدثه قال صليت خلف النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان فكانوا
يستفتحون ب الحمد لله رب العالمين لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحيم في أول
قراءة ولا في آخرها
Berbeda
dengan penilaian dari ulama madzhab Hanafi, semisal Abd Allah ibn Yusuf
al-Zayla`i dalam Nashb al-Rayah[31]
وأبو الجوزاء اسمه أوس بن عبد الله الربعي
ثقة كبير لا ينكر سماعه من عائشة وقد احتج به الجماعة وبديل بن ميسرة تابعي صغير
مجمع على عدالته وثقته وقد حدث بهذا الحديث عنه الأئمة الكبار وتلقاه العلماء
بالقبول ولم يتكلم فيه أحد منهم وما روى عن عائشة من الجهر فكذب بلا شك فيه الحكم
بن عبد الله بن سعد وهو كذاب دجال لا يحل الاحتجاج به ومن العجب القدح في الحديث
الصحيح والاحتجاج بالباطل
“Abu al-Jawza’ nama
aslinya adalah Aws ibn `Abd Allah al-Rib`i seorang yang sangat terpercaya (  tsiqqah kabir), tidak dapat dipungkiri ia
mendengar langsung dari Siti `Aisyah. Banyak ulama yang berhujjah dengan
periwayatannya. Sedangkan
Budayl ibn Maysarah adalah tabi`in generasi terakhir yang disepakati integritas
moralitas dan intelektualitasnya (adalah, tsiqqah). Para imam besar banyak yang
meriwayatkan hadits ini darinya dan para ulama pun menerimanya serta tidak ada
seorang pun mempermasalahkannya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari siti
`Aisyah bahwasanya (basmalah dalam shalat) dibaca jahar adalah dusta tanpa ragu
lagi, dalam sanad hadits tersebut, ada seorang periwayat yang bernama al-Hakam
ibn `Abd Allah ibn Sa`ad, ia adalah seorang pendusta besar (kadzab, dajal)
karena itu tidak halal berhujjah dengannya. Aneh sekali, berani mencerca hadits
yang shahih, sebaliknya malah berhujjah dengan yang bathil”
Ulama
lain yang memberikan penilaian positif terhadap periwayatan Abu al-Jawza’ ini
adalah Abu al-Husayn Yahya ibn Ali, ia menegaskan[32]
رجال إسناد هذا الحديث ثقات كلهم لا يختلف
في
ذلك إلا انهم
يقولون إن أبا الجوزاء لا يعرف له سماع من عائشة وحديثه عنها إرسال قال شيخنا
الحافظ أبو الحسين يحيى بن علي أسعده الله وإدراك أبي الجوزاء هذا لعائشة رضي الله
عنها معلوم لا يختلف فيه وسماعه منها جائز ممكن لكونهما جميعا كانا في عصر واحد
وهذا ومثله محمول على السماع ثم مسلم رحمه الله كما نص عليه في مقدمة كتابه الصحيح
إلا أن تقوم دلالة بينة على أن ذلك الراوي لم يلق من روى عنه أو لم يسمع منه شيئا
فحينئذ يكون الحديث مرسلا والله أعلم
“Para periwayat dalam sanad
hadits ini seluruhnya kredibel; tidak diperselisihkan lagi dalam
kredibelitsanya. Hanya saja mereka beranggapan bahwa Abu al-Jawza tidak
diketahui mendengar langsung dari `Aisyah r.a. karena itu haditsnya itu mursal.
Menurut al-Hafizh Abu al-Husayn Yahya ibn `Ali semoga Allah membahagiakannya,
pertemuan Abu al-Jawza dengan `Aisyah itu diketahui tidak diperselihkan dalam
hal ini, dan dimungkinkan ia itu mendengar `Aisyah karena kedua orang itu hidup
dalam satu masa. Hal ini dan yang semacamnya memungkinkan dapat mendengar
langsung. Kemudian imam Muslim semoga Allah mengasihinya, sebagaimana tertulis
dalam muqaddimahnya kecuali kalau ada petunjuk yang tegas bahwa Rawi tersebut
sama sekali tidak bertemu atau sama sekali tidak mendengar darinya satu hadits
pun, jika keadaannya seperti ini maka haditsnya itu menjadi mursal. Wallohu
`Alam.”
Menurut
Ja`far al-Firyabi, Abu al-Jawza memang tidak mendengar hadits tersebut langsung
dari `Aisyah r.a. tetapi ia mengutus orang untuk menemui `Aisyah untuk bertanya
kepadanya. Akan tetapi di lain kesempatan tidak ada halangan bagi Abu al-Jawza’
datang menemui `Aisyah (musyafahah)[33]. Apa
yang dinyatakan al-Firyabi tersebut diakui sendiri oleh Abu al-Jawja’[34]
وقد
روى هذا الحديث أعني حديث أبي الجوزاء إبراهيم بن طهمان الهروي وهو من الثقات
الذين اتفق البخاري ومسلم على إخراج حديثهم في الصحيحين عن بديل إذنه عن أبي
الجوزاء قال أرسلت رسولا إلى عائشة رضي الله عنها أسألها عن صلاة رسول الله  صلى الله عليه وسلم فقالت كان يفتتح الصلاة
بالتكبير الحديث
“Hadits ini yakni hadits Abu
al-Jawza’ telah diriwayatkan oleh Ibrahim ibn Thamhan al-Harawi, ia ini seorang
yang disepakati kredibilitasnya oleh al-Bukhari dan Muslim untuk meriwayatkan
haditsnya dalam kedua kitab shahihnya dari Budayl dari Abu al-Jawza, ia
berkata: Aku mengutus seseorang menemui `Aisyah r.a. untuk bertanya tentang
shalat Rasulullah saw, ia menjawab ada Rasulullah memulai shalatnya dengan
mengucapkan takbir dst.”
Selain
itu, perlu ditegaskan, bahwa pernyataan al-Bukhari, fi Isnadih Nazhar (bukan
fihi nazhar
) bukanlah penilaian terhadap integritas kepribadian Abu
al-Jawza (meragukan keadilan dan kedhabitannya) melainkan yang dipersoalkannya
hanyalah pertemuan Abu al-Jauza’ dengan `Aisyah. Hal ini terbukti, al-Bukhari
sendiri dalam al-Jami`al-Shahih-nya mengambil periwayatan Abu al-Jawza
dari Ibn `Abas[35]
seperti dalam hadits sebagai berikut:
حدثنا مسلم بن إبراهيم حدثنا أبو الأشهب
حدثنا أبو الجوزاء  عن بن عباس رضي الله
عنهما ثم في قوله اللات والعزى كان اللات رجلا يلت سويق الحاج 
Itulah
sebabnya, Abu al-Jawza’ ini dinilai kredibel (tsiqqah) oleh sejumlah
kritikus hadits antara lain: menurut Abu Zur`ah ia itu tsiqqah[36],
menurut Abu al-Hasan al-`Ijli ia itu tsiqqah[37], Ibn
Hiban menyebutkannya dalam al-Tsiqat[38] dan
menurut Abu Hatim, ia itu tsiqqah[39]. Selain itu ditemukan banyak sekali hadits-hadits lain yang mendukung
keabsahannya baik syawahid maupun tawabi`. Dengan demikian hadits
yang bersanadkan `Aisyah r.a. ini, dapat diterima sebagai hujjah.
Hadits di atas, menunjukkan secara langsung adanya bacaan “al-tahiyyat
pada setiap dua raka`at. Akan tetapi, bacaan al-tahiyyat tersebut, tidak
dibaca kecuali dalam keadaan duduk. Dengan demikian hadits ini, secara tidak
langsung, menunjukkan adanya duduk tasyahud untuk membaca al-tahiyyat
pada setiap dua raka`at. Bahkan menurut Ibn Daqiq al-`Iyd lafazh “al-tahiyat
dapat diartikan tasyahhud secara mutlak.[40]
وقولها وكان يقول في كل ركعتين التحية 
أطلقت لفظ التحية على التشهد كله من باب إطلاق اسم الجزء على الكل
2. Hadits `Abdullah Ibn
Mas`ud
Hadits yang bersanadkan
`Abdullah ibn Mas`ud tentang keberadaan “tasyahhud” pada
setiap dua rakaat untuk pertama kali diriwayatkan Abu Bakr `Abd al-Razaq ibn
Hamam al-Shan`ani (126-211) dalam al-Mushannaf-nya.
عن عبد الله قال كنا لا ندري ما نقول في الصلاة فكنا
نقول السلام على الله السلام على جبريل السلام على ميكائيل فعلمنا النبي صلى الله
عليه وسلم فقال لا تقولوا السلام على الله إن الله هو السلام فإذا جلستم في
ركعتين فقولوا  التحيات لله
  والصلوات والطيبات السلام عليك أيها الله
وبركاته السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين قال أبو وائل في حديث عبد الله عن
النبي صلى الله عليه وسلم إذا قلتها أصابت كل عبد صالح في السماء وفي الأرض وقال
أبو إسحاق في حديث عبد الله إذا قلتها أصابت كل ملك مقرب او نبي مرسل أو عبد صالح
[41]
“Dari `Abd Allah ibn
Mas`ud, ia berkata: “Semula kami tidak tahu apa yang harus dikatakan di
dalam shalat, maka kami mengatakan “al-Salam `ala Allah, al-Salam `ala
Jibril, al-Salam `ala Mikail”. Lalu Nabi mengajari kami seraya ia
bersabda: “janganlah kalian menyampaikan salam kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Selamat. Jika kalian duduk pada dua raka`at maka ucapkanlah:
al-Tahiyyat lillah … Menurut Abu Wail (Syaqiq ibn Salmah), jika kamu
mengucapkannya sampai pula pada setiap hamba yang shalih baik di langit dan di
bumi. Demikian pula menurut Abu Ishaq (`Amr ibn `Abd Allah ibn `Ubayd) jika
kamu mengucapkannya sampai pula pada setiap malaikat yang senantiasa
ber-taqarrub (ibadah) kepada Allah atau nabi yang diutus atau hamba yang shalih”.
Hadits
dari Ibn Mas`ud di atas, diriwayatkan (takhrij) pula oleh ulama hadits
berikutnya, dengan sedikit perbedaan redaksi matn[42] antara
lain: 1) Abu Dawud al-Thayalisi (204); 2) Ahmad ibn Hanbal (164-261); 3) Abu
`Isa al-Turmudzi (209-279); 4) Abu Ya`la (210-307); 5) Al-Nasa’i (215-303); 6)
Ibn Khuzaymah al-Nisaburi (223-311); 7) Abu Sa`id al-Syasyi (335); 8) Abu
al-Qasim al-Thabrani (260-360 H.); 9) Abu Nu`aym al-Ashbahani (430); 10)
Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458 H.).
وفي رواية أبي داود الطيالسى: فأمرنا أن نقول في
كل ركعتين التحيات لله
[43] وفي رواية
أحمد:

فإذا جلستم في ركعتين فقولوا التحيات لله
[44]
وله:
إذا قعدتم في كل ركعتين فقولوا التحيات لله
[45]
وله: علمني رسول الله صلى الله عليه وسلم  التشهد في وسط الصلاة وفي آخرها فكنا نحفظ
عن عبد الله حين أخبرنا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم  علمه إياه قال فكان يقول إذا جلس في وسط
الصلاة
وفي آخرها على وركه اليسرى التحيات لله
[46] وفي رواية الترمذي: علمنا رسول الله  صلى الله عليه وسلم إذا قعدنا في الركعتين أن
نقول التحيات
[47] وفي رواية أبي يعلي: علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
ان نقول إذا جلسنا في الركعتين التحيات لله
[48] وفي رواية النسائي:علمنا
رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نقول إذا جلسنا في الركعتين التحيات لله
[49] وله: إذا قعدتم
في كل ركعتين فقولوا التحيات لله
[50]
وفي رواية بن خزيمة: فكان يقول إذا جلس في
وسط الصلاة وفي آخرها على وركه اليسرى التحيات لله
[51] وله:  إذا
قعدتم في كل ركعتين فقولوا التحيات لله
[52]
وفي رواية أبي سعيد الشاسي: إذا
جلستم فى كل ركعتين فقولوا التحيات لله
[53] وفي رواية
الطبراني:
فإذا جلستم في
ركعتين فقولوا التحيات لله
[54] وله: إذا جلستم في كل ركعتين فقولوا   التحيات لله[55] وفي رواية أبي نعيم الأصبهاني:وأمرنا أن نقول في كل ركعتين التحيات لله[56] وفي رواية البيهقي: إذا جلستم بين الركعتين فقولوا التحيات لله[57]
`Abd al-Razaq menerima hadits
tersebut dari Sufyan al-Tsauri[58] dari
Hamad[59],
Manshur[60],
Hushayn[61],
al-A’masy[62]
dan Abu Hasyim[63]
dari Abu Wa’il[64]
dan Abu Ishaq[65]
dari al-Aswad[66]
dan Abu al-Akhwash[67] dari
`Abd Allah Ibn Mas`ud r.a[68].
Dari satu jalur sanad ini saja,
hadits ini sudah dapat diterima sebagai hujjah, dan lebih dikuatkan lagi dengan
ditemukannya banyak tawabi dan syawahid.
Hadits Ibn Mas`ud pun, sama dengan hadits `Aisyah di atas, dengan tegas
menunjukkan adanya perintah membaca “al-tahiyyat” pada setiap
dua raka`at. Dengan redaksi matan sedikit beragam,  tidak hanya dalam kalimat syarat
“idza” tetapi juga dengan kalimat berita yang menunjukkan perintah (shighat
al-amri
) dengan adanya kata “amarana”. Sehingga tidak bisa
digunakan logika balik (mafhum mukhalafah), kalau tidak duduk tidak harus
tasyahud.
Perlu diperhatikan, dalam menyikapi matan hadits sama sekali
berbeda dengan lafazh-lafzh al-Quran, dalam periwayatan hadits dikenal ada
konsep riwayat bi al-ma`na. Perlu kehati-hatian dalam melakukan
penafsiran (istinbath) hukum berdasarkan pengertian kebahasaan yang
hanya berbekal tashrif (morfologi) dan kamus semata.
Shalat-shalat
dengan Kayfiyat Khusus
Adakah cara
shalat yang lain, yang berbeda dengan cara di atas?
Shalat
memiliki banyak jenis atau macamnya. Pertama, shalat fardhu (wajib) ada yang
bersifat individual (fardhu `ain), yaitu shalat yang lima waktu dan
shalat jum`at, ada pula yang bersifat kolektif (fardhu kifayah) yaitu shalat
jenazah. Kedua shalat nafilah (sunat) yang banyak sekali macamnya.
Pertama, shalat sunat yang dilakukan sebelum (qabliyah) dan sesudah (ba`diyah)
shalat fardhu lima
waktu, lazim disebut shalat sunat rawatib. Kedua shalat sunat yang
dilakukan pada setiap malam, lazim disebut shalat sunat qiyamu al-layl[69].
Ketiga, shalat sunat yang dikaitkan atau yang bersamaan dengan
peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya: a) shalat sunat ketika terjadi gerhana
baik matahari (kusyuf) maupun bulan (khusuf); b) shalat sunat
ketika menghadapi banyak pilihan yang dihadapi dan harus diambil salah satunya
lazim disebut shalat istikharah; c) shalat sunnat ketika kemarau panjang
yang lazim disebut  shalat istisqa;
dan banyak lagi shalat-shalat sunat yang lainnya.
Dari sekian
jenis dan macam shalat yang sebagiannya telah disebutkan di atas, memang
terdapat beberapa shalat yang dilakukan dengan kayfiyat yang berbeda
dari ketentuan umum shalat. Kekhususan kayfiyat ini, semuanya
berdasarkan nash (al-Sunnah); diperoleh petunjuk atau keterangan
bagaimana shalat-shalat sunat itu 
dilakukan oleh  Rasulullah saw.
Tidak ada seorang manusia pun, selain Rasulullah saw yang memiliki kewenangan
untuk menentukan kayfiyat yang berbeda, baik melalui qiyas
(analogi) atau ijtihad untuk membuat kayfiyat shalat tersendiri,
sejalan dengan sabdanya

وصلوا كما رأيتموني أصلي

… (رواه البخاري)
dan shalatlahlah kamu 
sebagaimana (dengan cara)kamu lihat aku shalat
Ulama fiqh pun
bersepakat, memang tidak boleh ada ijtihad, termasuk qiyas dalam ibadah.
Di antara
shalat-shalat yang memiliki kekhususan dalam kayfiyat-nya yang berbeda
dengan ketentuan umum shalat di atas, adalah:
1. Shalat
jenazah
yang dilakukan hanya berdiri dengan 4 kali takbir, tanpa ruku`,
sujud, apalagi duduk dan tasyahud.
2. Shalat
gerhana
baik matahari (kusyuf) maupun bulan (khusuf)
dengan dua kali ruku’ dan dua kali membaca al-Quran (surat
al-fatihah dan surat
yang lainnya)  pada setiap raka`atnya.
3. Shalat
qiyam al-layl
  (witr),
dengan beberapa kayfiyat,
    a) tiga atau lima
raka`at
, tanpa tasyahhud awwal tetapi langgsung duduk tasyahhud  pada rakaa`at yang terakhir;
    b) tujuh raka`at, dengan dua cara:
        (1)
tasyahud awwal pada rakaat keenam 
dan tasyahud akhir pada rakaat ketujuh; (2) tanpa tasyahhud awwal
langsung duduk tasyahud akhir pada rakaat yang ketujuh;
    c) sembilan raka`at,  duduk tasyahud pada rakaat kedelapan
(tasyahhud awwal) dan rakaat kesembilan (tasyahud akhir);
    d)
sebelas
rakaat, dengan beberapa cara:
        (1)
dua raka`at – dua rakaat sebanyak lima kali dengan salam (tasyahud akhir) untuk
setiap dua raka`at itu, lalu diakhiri dengan satu raka`at;
        (2)
empat raka`at, empat raka`at dan diakhiri tiga raka`at;
       (3)
delapan raka`at langsung duduk tasyahud akhir[70], dua
raka`at dan diakhiri satu raka`at
e) tiga belas raka`at, dengan
beberapa cara:
    (1) delapan
raka`at dengan duduk pada setiap dua raka`at dan salam, lalu lima raka`at  langsung tasyahhud akhir pada
rakaat yang kelima;
    (2) delapan
raka`at,  witirdua raka`at, kemudian shalat dua
raka`at dintara adan dan iqamah shalat shubuh. 
      (3) sepuluh
raka`at, satu raka`at dan dua raka`at fajar
4. Shalat  al-`Idayn (2 hari raya) dengan takbir zawaid-nya[71].
Pada
dasarnya shalat harus dilakukan sesuai dengan ketentuan umum. Ketentuan umum
ini baru berubah jika ada nash yang mengkhususkannya. Sejalan dengan kaidah
ushul:
العام بعد التخصيص يكون حجة فيما وراء صور التخصيص على
ما سبق في العموم
[72]
“Ketentuan umum setelah ditakhsis
menjadi hujjah bagi hal-hal yang berada di luar bentuk-bentuk takhshis, tetap
berdasarkan ketentuan umum sebelumnya”.
atau rumusan kaidah
yang lebih ringkas
العام بعد التخصيص حجة في الباقي
Ketentuan umum setelah ditakhshish
tetap menjadi hujjah bagi yang tersisa
Tasyahhud Awwal dalam
Shalat Sunat Empat Raka`at
Tasyahhud
awwal sebagai salah satu ketentuan umum dalam setiap shalat yang empat raka`at,
tidak terkecuali dalam shalat sunat. Hal ini didasarkan pada hadits dari `Ali
ibn Abi Thalib r.a.
Hadits Ali
ibn Abi Thalib r.a. dimaksud, untuk pertama kalinya diriwayatkan oleh Abu Bakr
`Abd Allah ibn Muhammad ibn Abi Syaybah al-Kufi (159-235),
عن
عاصم بن ضمرة قال قال ناس من أصحاب علي
لعلي
ألا رسول الله صلى الله عليه وسلم بالنهار التطوع قال فقال علي إنكم لن تطيقوها
قال فقالوا أخبرنا بها ينفذ منها ما أطقنا قال فقال كان إذا ارتفعت الشمس من
مشرقها فكانت كهيئتها من المغرب من صلاة العصر صلى ركعتين فإذا كانت من المشرق
كهيئتها من الظهر من المغرب صلى أربع ركعات وصلى قبل الظهر أربع ركعات وبعد الظهر
ركعتين وصلى قبل العصر اربع ركعات يسلم في كل ركعتين  على الملائكة المقربين والنبيين ومن تبعهم من
المؤمنين والمسلمين
[73]
Dari `Ashim ibn Dhamrah,
ia berkata: orang-orang Ali bertanya
kepada `Ali tentang shalat sunat Rasulullah saw di siang hari. Ali menjawab:
Kalian tidak akan sanggup mengikutinya. Orang-orang itu berkata lagi: Beritahu
kami tentang itu, niscaya kami menunaiakan sebagiannya sesuai dengan kemampuan
kami.  Ali menjawab: Ada Rasulullah bilamana Matahari meninggi di
sebelah timur setinggi matahari di sebelah barat pada waktu ashar, Rasulullah
shalat 2 raka`at. Jika (mata hari) disebelah timur sudah berposisi seperti
(matahari) pada waktu zhuhur di sebelah barat, beliau shalat 4 raka`at, dan
beliau shalat qabla 4 raka`at dan 2 raka`at ba`da zhuhur,  dan shalat qabla ashar 4 raka`at, beliau
mengucapkan salam pada setiap dua raka`at kepada para malaikat yang senantiasa
beribadah dan para nabi serta para pengikutnya dari kalangan orang-orang
mu`minin dan muslimin
.
Ulama hadits
berikutnya yang meriwayatkan (takhrij) hadits tersebut antara lain: 1)
Ahmad ibn Hanbal (164-261); 2) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini (207-275); 3) Abu
`Isa al-Turmudzi (209-279) 4) Ahmad ibn `Amr al-Bazar (215-292); dan 5)
Al-Nasa’i (215-303):
وفي
رواية أحمد: وأربعا قبل العصر يفصل بين كل ركعتين بالتسليم على الملائكة المقربين
والنبيين ومن تبعهم من المؤمنين والمسلمين[74]
وله: وقبل العصر أربعا ويفصل بين كل ركعتين بالتسليم على الملائكة المقربين
والنبيين ومن تبعهم من المؤمنين والمسلمين[75]
وله: وأربعا قبل العصر يفصل بين كل ركعتين بالتسليم على الملائكة المقربين
والنبيين ومن تبعهم من المسلمين والمؤمنين[76]
.وقي رواية الترمذي: كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي قبل العصر أربع ركعات يفصل
بينهن بالتسليم على الملائكة المقربين ومن تبعهم من المسلمين والمؤمنين[77] وقبل العصر أربعا يفصل من كل ركعتين
بتسليم على الملائكة المقربين ومن اتبعهم من النبيين والمرسلين[78]
وله:
ثم الظهر صلى أربعا يفصل بينهن بتسليم على الملائكة المقربين المؤمنين والمرسلين
ومن اتبعهم من المؤمنين والمرسلين … وقبل العصر أربعا يفعل فيهن مثل ذلك يفصل
بين كل ركعتين  بتسليم على الملائكة
المقربين والنبيين والمرسلين ومن اتبعهم من المؤمنين والمسلمين[79]
وله:
وقبل العصر أربعا يفصل بين كل ركعتين 
بالتسليم على الملائكة المقربين والنبيين والمرسلين ومن اتبعهم من المؤمنين
والمسلمين[80]
وفي رواية النسائي: قبل العصر أربعا ويفصل بين كل ركعتين  بتسليم على الملائكة المقربين والنبيين ومن
اتبعهم من المؤمنين والمسلمين[81]
وله:  وقبل العصر أربعا ويفصل بين كل
ركعتين  بالتسليم على الملائكة المقربين
والنبيين ومن اتبعهم من المسلمين[82]
وله: وقبل العصر أربعا ويفصل بين كل ركعتين 
بالتسليم على الملائكة المقربين والنبيين ومن تبعهم من المسلمين الصلاة إذا
ارتفع الضحى[83]
Hadits yang bersanadkan `Ali ibn Abi
thalib diriwayatkan (rawahu) atau dikeluarkan  (akhrajahu) secara berturut-turut
oleh  Ibn Abi Syaybah, Ahmad ibn Hanbal,
Ibn Majah, al-Bazar dan al-Nasai. Dengan melihat masa hidup mereka, maka hadits
riwayat  Ibn Abi Syaybah dapat
diposisikan sebagai hadits pokok (al-riwayat al-ula), sementara
hadits-hadits riwayat yang lainnya dapat diposisikan hanya sebagai tawabi`  bukan syawahid. Seluruh jalur
periwayatan bersimpul pada seorang perawi yang bernama Abu Ishaq[84] dari `Ashim
ibn Dhamrah
[85]
dari `Ali ibn Abi Thalib r.a. Dari Abu Ishaq inilah para imam mudawwin
hadits (penyusun kitab) memperoleh hadits tersebut melalui guru-gurunya
masing-masing.
Ibn Abi Syaybah menerima hadits ini
melalui gurunya, Abu al-Ahwash[86] dari
Abu Ishaq. Memang kredibelitas Abu al-Ahwash dipertentangkan oleh para kritikus
hadits, namun kedudukannya itu dapat diperkuat diperkuat oleh murid-murid Abu
Ishaq yang lain al-Jarh ibn Malih, Israil, dan Sufyan dalam jalur periwayatan
Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Majah, Sufyan ibn `Uyainah dan `Abd al-Malik dalam
jalur periwayatan al-Bazar dan al-Nasa`i.
Dari hasil penyelidikan singkat ini
dapat diketahui validitas hadits tersebut maqbul, yakni dapat diterima
sebagai hujjah. Kalaupun tidak shahih li dzatih hadits riwayat Ibn Abi
syaybah karena ada rawi (guru ibn Abi Syaybah) yaitu Abu al-Ahwash yang
kreadibilitasnya dipersoalkan, diperkuat posisinya itu oleh riwayat-riwayat
yang lainnya (tawabi), sehingga menjadi shahih li ghayrih atau
menggunakan langsung periwayatan lain yang lebih kuat, seperti riwayat Ahmad,
Ibn Majah, al-Turmudzi dan al-Nasai.
Kata “taslim” dalam redaksi matan-matan
hadits di atas, dimaknai tasyahhud karena masih dalam satu rangkaian kalimat
yang didahului dengan kata “yafshilu” dan dilanjutkan dengan
kata `ala malaikah al-muqarrabin wa al-nabiyyin” bukan “yukhtamu
bitaslim
titik”. Dalam tasyahhud itulah, terucapkan salam kepada malaikat,
para nabi dan orang-orang shalih. Pengertian
ini, selain sejalan dengan pengertian yang diberikan oleh Abu Hanifah ketika
ditanya tentang itu,  sebagai yang
terdapat dalam kitab musnad-nya[87] berikut
ini:
حدثنا أبو علي محمد
بن احمد بن الحسن ثنا بشر بن موسى ثنا المقرئ ثنا أبو حنيفة عن أبي سفيان عن أبي
نضرة عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أنه قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم الوضوء مفتاح الصلاة
والتكبير تحريمها والتسليم تحليلها وفي كل ركعتين تسليم ولا تجزئ صلاة إلا بفاتحة
الكتاب ومعها غيرها. قلت لأبي حنيفة ما معنى في كل ركعتين تسليم قال يعني به
التشهد
(ج:1 ص:
130)
Ibn Rahawayh pun memberikan penjelasan yang sama,
وقال
إسحاق ومعنى أنه يفصل بينهن  بالتسليم يعني
التشهد[88]
Sejalan juga dengan pendapat Ali al-Qari[89]
قال علي القارىء
ولكن الظاهر أن حديث علي محمول على تسليم التشهد حيث يقول السلام علينا وعلى عباد
الله الصالحين فإن ثم التسليم بالخروج عن الصلاة لا ينوي الأنبياء باتفاق
العلماء 
Sementara itu, Al-Bayhaqi dalam al-Sunan
al-Kubra
[90]-nya
menuliskan satu bab yang berjudul “باب من أجاز أن يصلي
أربعا  لا يسلم إلا في آخرهن” kemudian meriwayatkan hadits dari Abu Ayub al-Anshari
berikut ini:
عن أبي أيوب الأنصاري قال كان رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يصلي حين ينعقد الشمس أربع ركعات فقال أبو أيوب
يا رسول الله ما هذه الصلاة قال إن أبواب السماء تفتح حين ينعقد الشمس فلا ترتج
حتى يصلي الظهر فأحب أن يصعد لي فيهن خير قبل أن ترتج أبواب السماوات قال يا رسول
الله تقرأ فيهن أو يقرء فيهن كلهن قال نعم قال فيهن سلام فاصل قال لا إلا
في آخرهن
“Ada Rasulullah saw.
shalat, ketika matahari meninggi sebanyak empat raka`at, lalu Abu Ayub
bertanya: shalat apakah gerangan ya Rasulullah? Rasulullah saw menjawab: bahwa
pintu-pintu langit terbuka ketika matahari meninggi maka tidak menutup sampai
shalat zhuhur, karena itu aku menyukai 
(amal) kebaikan pada keempat rakaat itu naik sebelum pintu-pintu langit
itu tertutup. Abu Ayab bertanya lagi: Apakah engkau membaca pada keempat
raka`at itu atau dibaca (al-Quran) pada keempat raka`at seluruhnya? Rasulullah
saw menjawab: ya. Abu Ayub bertanya lagi apakah dalam empat raka`at itu ada
salam pemisah? Rasulullah saw menjawab tidak ada kecuali di akhir raka`atnya”.
Menurut al-Bayhaqi lanjutnya, Abu
Dawud al-Thayalisi dan yang lainnya pun telah meriwayatkan hadits ini dari
Syu`bah dari `Ubaydah.
في رواية أبي داود الطيالسي[91]:
فكان يصلي أربعا  قبل الظهر فينبغي عن ذلك
فقال إن أبواب السماء تفتح فلا تغلق حتى يصلى الظهر قال فقلت يا رسول الله أنسلم
بينهن قال لا إلا في آخرهن؛ وفي
رواية أحمد[92]:
أدمن رسول الله  صلى الله عليه وسلم أربع
ركعات ثم زوال الشمس … قال قلت ففيها سلام فاصل قال لا ؛ وفي رواية عبد بن حميد[93]: كان رسول الله  صلى الله
عليه وسلم  يصلى حين ينعقد الشمس أربع
ركعات … قال فيهن سلام فاصل  قال لا إلا
في آخرهن ؛وفي
رواية أبي داود السجستاني[94]:
أربع قبل الظهر ليس فيهن تسليم تفتح لهن أبواب السماء قال أبو داود بلغني عن يحيى
بن سعيد القطان قال لو حدثت عن عبيدة بشيء لحدثت عنه بهذا الحديث قال أبو داود
عبيدة ضعيف قال أبو داود بن منجاب هو سهم؛ وفي رواية ابن ماجه[95]: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي قبل الظهر أربعا إذا زالت
الشمس لا يفصل بينهن بتسليم
Akan tetapi, menurut al-Bayhaqi[96] sendiri
hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena dalam sanadnya (baik riwayat
al-bayhaqi maupun al-Thayalisi) ada seorang periwayat yang bernama `Ubaydah ibn
Muattib[97] yang dinilainya
dha`if. Penilaian yang sama diberikan pula oleh Abu Dawud al-Sijistani setelah
meriwayatkan hadits tersebut.
Demikian
pula ditemukan hadits dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan Rasulullah shalat
dhuha empat raka`at sekaligus tanpa diselingi dengan  kata-kata.
قالت عمرة سمعت أم المؤمنين تقول ثم كان رسول
الله  صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى أربع
ركعات  لا يفصل بينهن  بكلام[98]
Atau hadits dari Ibn `Abbas[99] yang
menyebutkan Rasulullah saw shalat qabla al-jum`ah sebanyak empat raka`at tanpa
diselengi pembicaraan apapun
عن بن عباس قال ثم كان رسول الله قبل الجمعة
أربعا وبعدها أربعا   لا يفصل بينهن
Kalaupun hadits ini shahih bukan
menunjukkan tanpa tasyahhud awwal tetapi, empat raka`at itu dilakukan
sekaligus, bukan dua raka`at salam, dua raka`at salam.
Kayfiyat Shalat Malam 4, 4, 3 Raka`at
Dalam
pada itu, shalat Qiyam al-Ramadhan yang 11 (sebelas) rakaat, berdasarkan
hadits dari `Aisyah r.a. yang dilakukan dalam tiga kali salam, yakni 4 raka`at,
4 raka`at dan diakhiri dengan 3 rakaat[100].
حدثني عن مالك عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي سلمة بن عبد الرحمن بن
عوف ثم أنه سأل عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم كيف كانت صلاة رسول الله صلى
الله عليه وسلم  في رمضان فقالت ما كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي
أربعا  فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي
أربعا فلا نسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلى ثلاثا فقالت عائشة فقلت يا رسول الله
أتنام قبل أن توتر فقال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي[101]
“Dari
Abi Salamah ibn `Abd al-Rahman, bahwasanya ia bertanya kepada `Aisyah r.a.:
Bagaimana keadaan shalat Rasulullah saw di bulan Ramadhan? `Aisyah menjawab:
Rasulullah itu baik di bulan Ramadhan atau pun di luar bulan Ramadhan tidak
pernah melebihi 11 raka`at, ia shalat 4 raka`at jangan tanya  tentang baik dan panjangnya, lalu ia shalat 4
rakaat lagi jangan tanya  tentang baik
dan panjangnya,  lalu ia shalat 3
raka`at. Lalu aku bertanya kepadanya: wahai Rasulullah apakah engkau tidur
sebelum witir? Rasulullah menjawab: wahai `Aisyah kedua mataku memang tidur
tetapi hatiku tidak”
.
Hadits di
atas hanya menunjukkan jumlah raka`at dengan 3 kali salam, tidak menjelaskan kayfiyat-nya
yang rinci dan sifat-sifatnya yang khusus; tidak dijelaskan adanya tasyahhud
awal dan akhir, sebagaimana tidak dijelaskan pula adanya ruku dan  sujud. Dengan tidak disebutkannya tasyahhud
awwal, maka sama sekali tidaklah berarti tidak ada tasyyahud awwal sebagaimana
juga tidak disebutkan adanya ruku dan sujud tidak berarti tidak ada ruku dan
sujud
.
Akan tetapi
berkenaan dengan tiga rakaat yang terakhir, sebagaimana disebutkan di atas terdapat
nash yang menjelaskan kekhususannya yakni tanpa ada tasyahhud awwal berdasarkan
hadits dari Ubay ibn Ka`ab r.a. dan `Aisyah r.a.
عن أبي بن كعب قال كان رسول الله 
صلى الله عليه وسلم  يقرأ في الوتر
بسبح اسم ربك الأعلى وفي الركعة الثانية بقل يا أيها الكافرون وفي الثالثة بقل هو
الله أحد ولا يسلم إلا  في آخرهن
ويقول بعد التسليم سبحان الملك القدوس ثلاثا[102]
“Dari
Ubay ibn Ka`ab, ia berkata: Ada Rasulullah saw
membaca dalam shalat witir surat al-`Ala, dan pada raka`at kedua (membaca) surat
al-Kafirun, dan pada raka`at ketiga (membaca) surat al-Ikhlash; beliau tidak salam
(bertasyahhud) kecuali pada raka`at yang terakhir. Setelah salam beliau
membaca  subhana al-Malik al-Quddus”
sebanyak 3 kali”.
عن عائشة قالت كان رسول الله  صلى
الله عليه وسلم يوتر بثلاث لا يسلم  إلا
في آخرهن
وهذا وتر أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه وعنه أخذه أهل
المدينة [103]
“Dari `Aisyah, ia berkata: Ada Rasulullah saw. Shalat
witir tiga raka`at ia tidak salam (bertasahhud) kecuali pada raka`at  yang terakhir. Witir semacam ini adalah witirnya
Amir al-Mukminin `Umar ibn al-Khathab, dari `Umar inilah ahlu Madinah
mengamalkannya”
Sedangkan
hadits yang melarang witir tiga raka`at menyerupai maghrib, tidaklah tepat
kalau dijadikan dasar hukum “tidak ada tasyahud awwal dalam witir yang
tiga raka`at”, karena hadits tersebut secara lengkap adalah sebagai
berikut:
عن أبي هريرة قال
قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم ثم لا
توتروا بثلاث تشبهوا بالمغرب ولكن أوتروا بخمس أو بسبع أو بتسع أو بإحدى عشرة ركعة
أو أكثر من ذلك[104]
“Janganlah
shalat witir tiga raka`at menyerupai shalat maghrib, tetapi shalat witirlah lima, tujuh, sembilan atau
sebelas raka`at atau lebih dari itu”
.
Tasyahud awwal sebagai salah satu
dari ketentuan umum shalat, seperti halnya ruku` dan sujud dalam urutan kayfiyat-nya
(bukan kedudukan hukumnya)[105] dalam setiap shalat, baik yang fardhu maupun yang sunat, termasuk
shalat sunat di bulan Ramadhan, sebagai yang dijelaskan dalam hadits dari Abu
Hurayrah berikut ini.
عن أبي بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام أنه
سمع أبا هريرة يقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة يكبر حين
يقوم ويكبر ثم يقول سمع الله لمن حمده حين يرفع صلبه من الركعة ثم يقول وهو قائم
ربنا لك الحمد ثم يكبر حين يهوي ساجدا ثم يكبر حين يرفع رأسه ثم يفعل ذلك في
الصلوات كلها حتى يقضيها ويكبر حين يقوم من المثنى بعد الجلوس ثم يقول أبو
هريرة إني لأشبهكم صلاة برسول الله صلى الله عليه وسلم
“Dari Abu Bakr ibn
`Abd al-rahman ibn al-harits ibn Hisyam, bahwasanya ia mendengar Abu Hurayrah
berkata: Ada Rasulullah saw bilamana berdiri hendak bertakbir ketika berdiri
(takbirotul ihram), bertakbir (untuk ruku`), kemudian mengucapkan sami`a Allah
li man hamidah ketika beliau mengangkat tulang rusuknya sehabis ruku’, kemudian
ia mengucapkan sambil berdiri rabbana wa laka al-hamd, kemudian bertakbir
ketika turun untuk sujud kemudian ia takbir ketika mengangkat kepalanya,
kemudian melakukan semuanya itu pada shalat-shalat seluruhnya sampai
menyelesaikan shalatnya, da ia pun bertakbir ketika berdiri dari raka`at
kedua setelah duduk
(tasyahhud). Kemudian Abu Hurayrah berkata:
“sesungguhnya aku benar-benar menyerupai shalat Rasulullah saw”.
Hadits Abu Hurayrah di atas
diriwayatkan untuk pertama kalinya oleh `Abd al-Razaq dalam al-mushanaf-nya[106].
Kemudian ulama hadits berikunya banyak pula yang meriwayatkan(takhrij)
hadits tersebut.
في رواية أحمد: ويكبر حين يقوم من اللتين بعد
الجلوس[107]، في روايتي البخاري: ويكبر حين يقوم من  الثنتين بعد الجلوس[108]،وله: كان يكبر في كل صلاة من المكتوبة وغيرها في رمضان وغيره
… ثم يكبر حين يقوم من  الجلوس في
الاثنتين[109]، وفي رواية مسلم: ويكبر حين يقوم من المثنى بعد الجلوس[110]، وفي رواية ابن خزيمة: ويكبر حين يقوم من  المثنى بعد الجلوس[111] وفي رواية بن
عوانة: ويكبر حين يقوم من  الثنتين من
الجلوس[112] وفي رواية أبي داود: ثم يكبر حين يقوم من الجلوس في اثنتين فيفعل
ذلك في كل ركعة حتى يخلو من الصلاة[113]، وفي روايتي النسائي: ويكبر حين يقوم من  الثنتين بعد الجلوس[114]، وله: ثم يكبر حين يقوم من الثنتين بعد التشهد ثم يفعل مثل
ذلك حتى يقضي صلاته[115]، وفي رواية البيهقي: ويكبر حين يقوم من  اثنتين بعد الجلوس[116]
Hadits Abu Hurayrah di atas, selain
menunjukkan (dalalah `ibarah) ketentuan takbir dalam shalat, termasuk takbirat
al-Qiyam
sehabis tasyahhud awwal, juga menunjukkan (dalalah
isyarah
) tentang kayfiyat dan urutannya, termasuk tasyahud awwal setelah
dua raka`at. Ketentuan semacam ini tidak hanya untuk shalat fardhu tetapi juga
untuk shalat-shalat yang lainnya, termasuk shalat shunat di bulan Ramadhan
(qiyam al-Ramadhan) seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat al-Bukhari di
atas yang, secara tegas menyebutkan:
في كل صلاة من المكتوبة وغيرها في رمضان وغيره
dan dalam riwayat al-Nasa`i
dijelaskan bahwa bangkit berdiri dari dua raka`at setelah duduk itu tak lain
adalah tasyahhud,
حين يقوم من الثنتين بعد التشهد
E. Penutup
Memang
sudah sejak dulu ulama mempersoalkan tentang kayfiyat dan shifat
dari pelaksanaan shalat yang empat raka`at, empat raka`at berkenaan dengan
hadits dari Siti `Aisyah r.a. Dalam hal ini, Ibn `Abd al-Bar menyebutkan[117]:
وأما قوله يصلي
اربعا ثم يصلي أربعا ثم يصلي ثلاثا فذهب قوم إلى أن الأربع لم يكن بينها سلام وقال
بعضهم ولا جلوس إلا في آخرها وذهب فقهاء الحجاز وجماعة من أهل العراق إلى أن
الجلوس كان منها في كل مثنى والتسليم أيضا
“Adapun perkatannya “yushalli
arba` tsumma yushalli arba` tsumma yushalli tsalats”, sebagian ulama
(tanpa disebutkan ulama dari madzhab mana) berpendapat bahwa yang empat raka`at
itu tidak ada diantara yang empat itu salam dan sebagian lagi berpendapat tidak
duduk kecuali pada (raka`at) yang terakhir. Sedangkan ulama fiqih Hijaz dan
mayoritas ulama Iraq
berpendapat bahwa ada duduk di antara yang empat pada setiap dua raka`at dan
taslim juga …”
Menurut Kebanyakan
ulama fiqh (termasuk Abu Yususf dan Muhammad) shalat sunat (tathawu`) yang
dilakukan pada malam hari adalah 2 raka`at 2 raka`at. Berdasarkan hadits صلاة الليل مثنى مثنى. Menurut
al-Syafi`i dan Ahmad ibn Hanbal, shalat sunat baik malam maupun siang adalah 2
raka`at, 2 raka`at. Sedangkan menurut Sufyan al-Tsauri, Ibn al-Mubarak, dan
ishaq, shalat sunat siang hari 4 raka`at seperti shalat qabla zhuhur dan shalat sunat lainnya.[118]
Sementara menurut Abu Hanifah, baik siang maupun malam, boleh 2, 4, 6 atau
bahkan 8 raka`at[119].
Sebaliknya,
menurut al-`Iraqi, hadits yang menyebutkan 2 raka`at, 2 raka`at dapat
menunjukkan dua pengertian; pertama, salam setiap dua raka`at atau kedua,
tasyahhud pada setiap dua raka`at dan salam pada raka`at keempat.[120]
الصلاة مثنى مثنى
قال العراقي يحتمل أن يكون المراد أنه يسلم في كل ركعتين ويحتمل أن المراد أنه
يتشهد في كل ركعتين وإن جمع ركعات بتسليم واحد
Karena itu, dapat
dimengerti, kenapa tasyahhud awwal dalam shalat sunat tidak menjadi pembahasan
dalam kitab-kitab fiqh ahl al-Hadits (Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah),
karena mereka berpendapat sebaiknya shalat sunat itu dua raka`at, dua raka`at. Sementara
Abu Hanifah (bersama fuqaha lain ahl al-ra`yi, al-`Iraqqiyun) tidak
mengharuskan dua raka`at, dua raka`at. Karena itu, tasyahhud awwal menjadi
bagain dari pembahasan shalat-shalat sunat.
Dengan
demikian, “tasyahhud awal” ada pada setiap dua raka`at dalam shalat
yang empat rakaat, baik fardhu ataupun shalat sunat, tidak terkecuali dengan
shalat Qiyam al-Ramadhan yang seebelas raka`at yang dilakukan 4 raka`at,
4 raka`at dan diakhiri 3 raka`at, pada setiap dua raka`at yang empat raka`at
disyari`atkan tasyahhud awwal.
Wallohu
`alam bi al-Shawab.-

[1] Zayn al-Din
ibn `Abd al-`Aziz al-Malibari. Fath al-Mu`in bi Syarh Qurat al-`ayn. Bayrut:
Dar al-Fikr. (4 Juz). Juz. 1 hlm. 21.
[2]
Abu Bakr `Abd al-Razaq ibn Hamam al-Shan`ani. Al-Mushannaf,  (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1403), tahqiq
Habib al-Rahman al-A`zhami. Cetakan Kedua (11 juz). Juz II, hlm. 206.
[3] Ishaq ibn
Ibrahim ibn Mukhallad ibn Rahawayh al-Hanzhali. Musnad Ishaq ibn Rahawayh.
(Al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Iman. 1991). Cetakan Pertama. Tahqiq:
`Abd al-Ghafur ibn `Abd al-Haq al-Balusyi. (3 juz). Juz III, hlm. 724.
[4]
Ahmad ibn Hanbal Abu `Abd Allah al-Syaybani. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal,
(Mishr: Dar al-Qurthubah, t.t.)  (6 juz).
Juz VI, hlm. 123.
[5]
Sulayman ibn al-Asy`ats, Abu Dawud al-Sijistani al-Azda. Sunan Abi Dawud,
(T.tp.: Dar al-Fikr, t.t.), tahqiq Muhammad Muhyi al-din `Abd al-Hamid. (4
juz). Juz I, hlm. 208.
[6]Muslim
ibn al-Hajaj Abu al-Hasan al-Qusyaeri al-Nisaburi. Shahih Muslim
(Bayrut: Dar Ihya al-Turats al-`Arabi. T.Th.) Tahqiq: M. Fuad `Abd al-Baqi. (5
juz). Juz I, hlm. 357.
[7] Muhammad ibn
Ishaq ibn Khuzaymah Abu Bakr al-Sulami al-Nisaburi. Shahih Ibn Khuzaymah.
(Bayrut: al-Maktab al-Islami. 1970) Tahqiq: Muhammad Mushthafa al-`Azhami
(4juz). Juz I, hlm. 346.
[8] Abu al-Qasim
Sulayman ibn Ahmad al-Thabrani. Al-Mu`jam al-Awsath (Al-Qahirah: Dar
al-Haramayn. 1415). Tahqiq: Thariq ibn `Awdh Allah ibn Muhammad dan `Abd
al-Muhsin ibn Ibrahim al-Husayni. (10 juz). Juz VII, hlm. 230.
[9]Abu
`Awanah Ya`qub ibn Ishaq al-Asfirayni. Musnad Abi `Awanah (Bayrut: Dar
al-Ma`rifah. 1998) Cetakan Pertama. Tahqiq: Ayman ibn `Arif al-Dimasyqa. (5
juz). Juz I, hlm. 535.
[10]Muhammad
ibn Hiban ibn Ahmad Abu hatim al-Tamimi al-Busti. Shahih Ibn Hiban bi tartib
Ibn Balban. (Bayrut: Mu’asasah al-Risalah. 1993). Cetakan Kedua. Tahqiq:
Syu`ayb al-Arnauthi. (18 juz). Juz V, hlm. 64-65.
[11] Ahmad
ibn al-Husayn ibn `Ali ibn Musa Abu al-bakr al-Bayhaqi. Sunan al-Bayhaqi
al-Kubra, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1414 H.)  Tahqiq uhammad `Abd al-Qadir `Atha’.  Juz II, hlm. 113.
[12] Ibid, Juz II, hlm. 133.
[13] Ibid. Juz II, hlm. 172.
[14]Muhammad
ibn Ahmad ibn `Utsman ibn Qayimaz al-Dzahabi Abu `Abdillah (748). Al-Mu`in fi
Thabaqh al-Muhadditsin. Aman: Dar al-Furqan. Cetakan Pertama. (1juz). Hamam
`Abd al-Rahim Sa`id. Hlm. 43.
[15]  Lihat:
Syams al-din Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (747 H.). Al-Muqtana fi Sarad
al-Kuna. Alll-Madinah al-Munawarah: Mathabi` al-jami`ah al-Islamiyah. 1407.
Tahqiq: Muhammad Shalih `Abd al-`Aziz al-Murad (2 juz). Juz I, hlm. 156.
[16] Lihat:
Muhammad ibn Isma`l ibn Ibrahim Abu `Abdillah al-Bukhari al-Ja`fi (256). Al-Tarikh
al-Kabir
. TT.: ar al-Fikr. (8 juz). Tahqiq: al-Sayyid Hasyim al-Nadwi. Juz
II, hlm. 16.
[17] Lihat:
Muhammad ibn Ahmad ibn `Utsman ibn Qayimaz al-Dzahabi Abu `Abdillah (748). Sayr
A`lam al-Nubala’. Bayrut: Mu’asasah al-Risalah. Cetakan Kesembilan. (23 juz).
Tahqiq: Syu`ayb al-Arnauthi dan Muhammad Nuaym. Juz IV, hlm. 371-372.
[18] Lihat:
Muhammad ibn Isma`l ibn Ibrahim Abu `Abdillah al-Bukhari al-Ja`fi (256). Al-Tarikh
al-Kabir
. TT.: ar al-Fikr. (8 juz). Tahqiq: al-Sayyid Hasyim al-Nadwi. Juz
II, hlm. 16.
[19]  Lihat :
`Abd al-Rahman ibn Abi Hatim Muhammad ibn Idris Abu Muhammad al-Razi al-Tamimi.
Al-Jarh wa al-Ta`dil. Bayrut: Dar Ihya al-Turats al-`Arabi. 1952. Cetakan
Pertama. (9juz). Juz II, hlm. 304.
[20] Ahmad ibn `Ali
ibn Hajar Abu al-Fadhl al-`Asqalani al-Syafi`I (852). Lisan al-Mizan. Bayrut:
Mu’asasah al-‘Alami li al-Mathbu`at. 1986 (7 juz). Tahqiq: Da’irah al-Mu`arrif
al-Nizhamiyah – al-Hind.
[21] Lihat: Ahmad
ibn `Ali ibn Hajar Abu al-Fadhl al-`Asqalani al-Syafi`I (852). Tahdzib
al-Tahdzib
. Bayrut: Dar al-Fikr. 1984. Catakan Pertama. (14 Juz). Juz I,
hlm. 335.
[22]  Lihat: Syams al-din Muhammad ibn Ahmad
al-Dzahabi (748). Mizan al-`Itidal fi Naqd al-Rijal.
Bayrut: Dal al-Kutub al-`ilmiyah. 1995. Cetakan Pertama (8 Juz). Tahqiq:
al-Syaykh `Ali Muhammad Mu`awwidh dan al-Syaykh `Adil Ahmad `Abd al-Mawjud. Juz
I, hlm. 352. Lihat juga juz VII, hlm. 352.
[23] `Abd Allah ibn `Adi ibn `Abd Allah ibn Muhammad
Abu Ahmad al-Jurjani. (365). Al-kamil fi Dhu`afa al-Rijal. Bayrut: Dar al-Fikr.
1988. Cetakan Ketiga (7 juz). Yahya Mukhtar Ghazawi. Juz. I, hlm. 411.
[24] Abu Umar Yusuf
ibn `Abd Allah ibn `Abd al-Bar al-Namri (463). Al-Tamhid li ma fi al-Muwatha’
min al-Ma`ani wa al-Asanid. Al-Maghrib: Wuzarah Umum al-Awqaf wa al-Syu’un
al-Islamiyah. 1387. (24 juz). Tahqiq: Mushthafa ibn Ahmad al-`Uluwwi. Juz XX,
hlm. 205.
[25]Lihat: Ahmad ibn `Ali ibn Hajar Abu al-Fadhl
al-`Asqalani al-Syafi`I (852). Talkhish al-Habir fi
Ahadits al-Rafi`i al-Kabir. Al-Madinah al-Munawarah. 1964. (4 juz). Tahqiq:
al-Sayyid `Abd Allah Hasyim al-Yamani. Juz I, hlm. 217.
[26] 
Umar ibn `Ali ibn al-Mulaqin al-Anshari (804).
Khulashah al-Badri al-Munir fi Takhrij Kitab al-Syarh al-Kabir li al-Rafi`i.
Al-Riyadh: Maktabah al-Rusyd. 1410. (2 juz). Tahqiq; Hamdi Abd al-Majid Ismail
al-Salafi. Juz I, hlm. 117.
[27] Muhammad ibn
Ali ibn Muhammad al-Syawkani (1255). Nayl al-Awthar min Ahadits Sayyid
al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar. Bayrut: Dar al-jayl. 1973. (9 juz). Juz II,
hlm. 309.
[28] Ahmad ibn `Abd
al-rahim ibn al-Husayn al-Kurdi (826). Tuhfat al-Tahshil fi Dzikr Ruwat
al-Marasil. Riyadh:
Maktabah al-Rasyid. 1999.Cetakan Pertama (1 juz). Tahqiq: `Abd Allah Nawarah.
Hlm. 32.
[29] Muhammad ibn
Ismail al-Shan`ani al-Amiri (852). Subul al-Salam Syarh Bulugh al-maram min
Adillat al-Ahkam. Bayrut: Dar Ihya’ al-turats al-`Arabi. Cetakan IV. 1379. (4
juz). Tahqiq; Muhammad `Abd al-`Aziz al-Khuli. Juz I, hlm. 166.
[30] Lihat:  Muslim ibn al-Hajaj, Shahih Muslim. Juz I,
hlm. 299.
[31] `Abd Allah ibn Yusuf Abu Muhammad al-Hanafi
al-Zayla`i (762). Nashb al-Rayah li Ahadits al-Hidayah. Mishr: Dar
al-hadits.1357. (4 juz). Tahqiq: Muhammad Yusuf al-Banuri. Juz I, hlm. 334.
[32] Yahya ibn `Ali
ibn `Abd Allah Al-Qurasyi Abu al-Husayn (662). Gharar al-Fawa’id al-Majmu`ah
fi Bayan ma waqa`a fi Shahih Muslim min al-Ahadisi al-Maqthu`ah
. Al-Madinah
al-Munawarah: Maktabah al-`Ulum wa al-Hukm. 1417. Cet. Pertama. (1juz). Tahqiq:
Muhammad Khusyafi. Hlm. 338.
[33] Lihat: al-`Atsqalani, Tahdzib al-Tahdzib, juz I, hlm. 335.
[34] Lihat: Yahya
ibn `Ali. Gharar al-Fawa`id. Juz I, hlm. 340.
[35] Lihat:
Muhammad ibn Isma`il Abu `Abdillah al-Bukhari al-Ja`fi (256). Al-jami`
al-Shahih al-Mukhtashar
.  Bayrut: Dar
Ibn Katsir, al-Yamamah. 1987. (6 juz). Tahqiq; Mushthafa Dib al-Bigha. Juz IV,
hlm. 1841.
[36]  Lihat :
`Abd al-Rahman ibn Abi Hatim Muhammad ibn Idris Abu Muhammad al-Razi al-Tamimi.
Al-Jarh wa al-Ta`dil. Bayrut: Dar Ihya al-Turats al-`Arabi. 1952.
Cetakan Pertama. (9juz). Juz II, hlm. 304.
[37] Lihat: Ahmad
ibn `Abd Allah ibn Shalih Abu al-Hasan al-`Ijli al-Kufi (261). Ma`rifat
al-Tsiqat.
Al-madinah al-Munawarah: Maktabah al-dar. 1985. Cetakan Pertama.
(2 juz). `Abd al-`Alim `Abd al-`Adhim al-Bustuwa. Juz I, hlm. 237 dan
Juz II, hlm. 393.
[38] Lihat:
Muhammad ibn Hiban ibn Ahmad Abu hatim al-Tamimi al-Busti (354). Al-Tsiqat.
T.Tp.Dar al-Fikr. 1975. Cetakan Pertama. (9 juz). Tahqiq: al-Sayyid Syaraf
al-Din Ahmad. Juz IV, hlm. 42.
[39] Lihat: Yusuf
ibn al-Zaki `Abd al-Rahman Abu al-Hajaj al-Mizi (742). Tahdzib al-Kamal.
Bayrut: Mu’asasah al-Risalah. 1980. Cetakan Pertama. (35 juz). Tahqiq: Basyar
`Awad Ma`ruf. Juz III, hlm. 392.
[40] Taqy al-Din
Abi al-Fatah Ibn Daqiq al-`Iyd (702). Ihkam al-Ahkam Syarh `Umdat al-Ahkam.
Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah. (4 juz). Juz
I. Hlm. 218.
[41]
Abu Bakr `Abd al-Razaq ibn Hamam al-Shan`ani. al-Mushannaf,  (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1403), tahqiq
Habib al-Rahman al-A`zhami, cet. kedua. Juz II, hlm. 199.
[42] Keragaman
redaksi matn hadits semacam inilah yang 
dalam Ulum al-Hadits dikenal dengan konsep riwayat bi al-makna.
[43] Sulayman ibn Dawud, Abu Dawud al-Farisi, al-Bashri al-Thayalisi. Musnad al-Thayalisi,  Bayrut: Dar al-Ma`rifah. (1 juz). Hlm. 39.
[44]
Ahmad ibn Hanbal Abu `Abd Allah al-Syaybani (164-261), Musnad al-Imam Ahmad
ibn Hanbal
, (Mishr: Dar al-Qurthubah, t.t.) 
(6 juz). Juz I, hlm. 423.
[45] Ibid.
Juz I, hlm. 437.
[46] Ibid.
Juz I, hlm. 459.
[47]
Muhammad ibn `Isa, Abu `Isa al-Turmudzi al-Sulami (209-279), al-Jami`
al-Shahih – Sunan al-Turmudzi

(Bayrut: Dar Ihya’ al-Turats al-`Arabi, t.t.), tahqiq Ahmad Muhammad
Syakir dkk.,  juz II, hlm. 81.
[48] Ahmad ibn `Ali
ibn al-Mutsnna al-Mawshuli, Abu Ya`la (210-307), Mu`jam Abi Ya`la,
Fayshal Abadi: Idarah al-`Ulum al-Atsariyah. 1407. cetakan Pertama. Tahqiq:
Irsyad al-Haq al-Atsari. (1juz). Hlm. 267.
[49] Ahmad ibn
Syuayb Abu `Abd al-Rahman al-Nasa’i (215-303). Al-Sunan al-Kubra.
(Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah. 1991). Cetakan Pertama. Tahqiq: `Abd
al-Ghafar Sulayman al-Bundari dan Sayyid Kasrawi Hasan. Juz   (6 juz). Juz I, hlm. 249. Lihat Pula dalam: Ahmad
ibn Syuayb al-Nasa’i (215-303). Al-Mujtaba min al-Sunan dikenal dengan Sunan
al-Nasa’i
(Halab: Maktab al-Mathbu`at al-Islamiyah. 1986) Cetakan Kedua.
Tahqiq: `Abd al-Fatah Abu Ghadah. (8 juz). Juz II, hlm. 238.
[50]Ibid.
Al-Sunan al-Kubra, Juz I, hlm. 249. Lihat pula dalam Al-Mujtaba min al-Sunan
dikenal dengan Sunan al-Nasa’i. Juz II, hlm. 238
[51] Muhammad ibn
Ishaq ibn Khuzaymah Abu Bakr al-Sulami al-Nisaburi (223-311). Shahih Ibn
Khuzaymah.
(Bayrut: al-Maktab al-Islami. 1970) Tahqiq: Muhammad Mushthafa
al-`Azhami (4juz). Juz I, hlm. 350.
[52]Ibid.
Juz I, hlm. 356.
[53]Abu
Sa`id al-Haytsam ibn Kulayb al-Syasyi (335). Al-Musnad li al-Syasyi.
(Al-Madinah al-Munawarah: Maktabah al-`Ulum wa al-Hukm. 1410). Cetakan Pertama.
Tahqiq: Mahfuzh al-Rahman Zayn Allah. Juz II, hlm. 139.
[54]
Sulayman ibn Ahmad ibn Ayub Abu al-Qasim al-Thabrani (260-360 H.), al-Mu`jam
al-Kabir
, tahqiq: Hamadi ibn `Abd al-Majid al-Salafi, (al-Mawshul: Maktabah
al-`Ulum wa al-Hukm, 1386), Cetakan Kedua. 
Juz X, hlm. 41.
[55] Ibid.
Juz X, hlm. 49. 
[56] Abu Nu`aym,
Ahmad ibn `Abd Allah al-Ashbahani (430). Hilyat al-Awliya’ wa Thabaqat
al-Ashfiya’
. Bayrut: Dar al-Kitab al-`Arabi. 1405. Cetakan Keempat. (10
juz). Juz VII, hlm. 178.
[57]
Ahmad ibn al-Husayn ibn `Ali ibn Musa Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458 H.), Sunan
alBayhaqi al-Kubra,
tahqiq uhammad `Abd al-Qadir `Atha’, (Makkah
al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1414 H.), 
juz II, hlm. 148. 
[58] Nama
lengkapnya adalah Sufyan ibn Sa`id ibn Masruq, thabaqah kibar al-Atba’. Nasab:
al-Tsauri. Kun-yah
: Abu `Abdillah, bertempat tinggal di Kufah, meninggal
pada tahun 161 H. di Bashrah. Dalam ulama hadits ia itu sangat kredibel, Malik
ibn Anas dan Yahya ibn Ma`in menilainya tsiqqah, Syu`bah ibn al-Hajaj
menggelarinya Amir al-Mukminin fi al-Hadits,   Ibn Hiban memasukkannya dalam kelompok dari al-hufazh
al-muttaqin
.
[59]  Nama
lengkapnya Hamad ibn Abi Sulayman, thabaqah: tabi`in yunior.
Nasab al-Kufi, al-Asy`ari. Kunyah: Abu Isma`il, bertempat tinggal di Kufah.
Meninggal dunia tahun 120 H. Menurut Yahya ibn Ma`in dan al-`Ijli ia itu tsiqqah,  dan Ibn Hiban pun menyebutkannya dalam al-Tsiqat.
[60] Manshur ibn
al-Mu`tamar, thabaqah: tabi`in yunior, nasab: al-Sulami, kun-yah Abu `Utab,
bertempat tinggal di Kufah. Wafat tahun 132 H. Menurut Yahya ibn Ma`in min
atsbat al-Nas,
Ibrahim ibn Musa Atsbat Ahl al-Kufah, Abu Hatim: tsiqqah,
al-`Ijli: tsqqah tsabt, dan menurut Ibn Sa`d: tsiqqah ma`mun.
[61] Nama
lengkapnya Hushayn ibn `Abd al-rahman, thabaqah: tabi`in yunior, nasab:
al-Sulami
. Tempat tinggal: Kufah. Wafat: 136 H. Menurut Ahmad ibn Hanbal:
tsiqqah ma`mun. Yahya ibn Ma`in: tsiqqah. Abu Hatim: Shaduq tsiqqah.
Al-Ijli: Tsiqqah tsabt. Abu Zur`ah: tsiqqah.
[62] Nama
lengkapnya Sulayman ibn Mihran; generasi tabi`in yunior, nasab: al-Asadi
al-Kahili, kun-yah
Abu Muhammad. Laqab; al-`A`masy. Bertempat tinggal di
Kufah dan meninggal dunia pada tahun 147 H. Menurut Yahya ibn Ma`in tsiqqah,
al-Nasa’i dan al-`Ijli menilainya tsiqah tsabt, Abu Hatim menilainya tsiqah
yuhtaju bi haditsih.
[63] Nama
lengkapnya Yahya ibn Dinar, thabaqah: lam yalqa al-shahabah. nasab:
al-Ramani. kunyah
Abu Hasyim, bertempat tinggal di Hayt. Wafat: 122 H.
Menurut Ahmad ibn Hanbal, Yayhya ibn Ma`in, Abu Zur`ah dan al-Nasa’i ia itu tsiqqah.
Menurut Ibn Sa`adalah dan Abu Hatim ia itu Shaduq.
[64] Nama
lengkapnya Syaqiq ibn Salmah, thabaqah: tabi`in senior, nasab: al-Asadi, kunyah:
Abu Wa’il. Tempat Tinggal di Kufah. Wafat: 82 H. Menurut Waki` ibn al-Jarah dan
Ibn Sa`d ia itu tsiqqah. Yahya ibn Ma`in: tsiqqah la yus’al `an mitslih.
Ibn `Abd al-Bar: ajma`u `ala annahu tsiqqah.
[65] Nama
Lengkapnya `Amr ibn `Abd Allah ibn `Ubayd. thabaqah: tabi`in pertengehan, nashab
al-Sabi`i al-Hamdani, kun-yah
Abu Ishaq. Bertempat tinggal di Kufah. Wafat:
di Kufah 128 H. Menurut Ahmad ibn Hanbal, Abu Hatim, al-`Ijli dan al-Nasa’i ia
itu tsiqqah, demikian pula Ibn Hibban menyebutkannya dalam al-Tsiqat
[66]  Menurut Yahya ibn Main, Ibn Sa`ad, al-Ijli ia
itu tsiqqah demikian pula Ibn Hiban menyebutkannya dalam al-Tsiqat.
[67] Bukan Abu
al-Akhwash gurunya Ibn Abi Syaybah dalam hadits di atas. Akan tetapi yang
bernama `Awf ibn Malik ibn Nadhalah, thabaqah; al-wustha min
al-tabi`in
. nasab: al-Jasyimi. kunyah: Abu al-Akhwash. Tempat
tinggal di Kufah. Menurut Yahya ibn Ma`in, Ibn Sa`adalah, al-Nasa’i, ia itu tsiqqah.
Demikian pula Ibn Hiban dan al-Dzahabi men-tsiqah-kannya.
[68] Nama
lengkapnya: `Abdullah ibn Mas`ud ibn Ghafil ibn Habib, thabaqah Shahabat,
nasab: al-Hadzali al-Madini, kunyah `Abu `Abdillah. Laqab: Ibn
`Umi `Abd. Tempat tinggal di Kufah. Meninggal di Madinah tahun 32 H. Karena
dari thabaqah shahabat itu berposisi (rutbah) Asma al-Maratib
al-`adalah wa al-tawtsiq
.
[69]Shalat
sunat ini sebaiknya (afdhal) dilakukannya pada sepertiga akhir malam, setelah
tidur terlebih dahulu, karena itu shalat ini dinamai shalat tahajud.
Jumlah raka`atnya ganjil berkisar antara 1, 3, 5, 7, 9 sampai 11, karena itu
dinamai pula shalat witr. Di bulan Ramadhan umat Islam banyak sekali
yang melakukannya bahkan dilakukan secara berjama`ah, karena itu dinamai pula qiyam
al-Ramadhan
. Karena raka`atnya banyak, sampai 11 raka`at (bahkan ada yang
melakukkannya lebih dari 11 raka`at), shalat ini dapat dilakukan secara
bertahap tidak harus sekaligus karena itu dinamai pula shalat tarawih.
[70] Bertentangan
dengan hadits yang lebih kuat, yang menyebutkan bahwa Rasulullah shalat 8
rakaat, duduk pada setiap dua raka`at dan salam. Menurut al-Zaylai hadits ini
gharib, menyalahi hadits yang ditakhrij oleh Imam muslim yang menyebutkan
shalat witir 9 raka`at, duduk tasyahhud pada rakat`at kedelapan (tasyahhud
awwal) dan kesembilan (tasyahud akhir) Lihat: Nashb al-Rayah. Juz II,
hlm. 143.
[71] Banyak
ditemukan hadits-hadits yang menunjukkan adanya takbir zawa’id mulai dari 4
kali, 8 kali, 9 kali, 12 kali, sampai 13 kali meskipun tidak ada satu pun dari
hadits-hadits tersebut yang shahih (shahih li dzatih) berdasarkan
standard keshahihan hadits. Tetapi paling tidak ada dalil yang mengkhususkan
kayfiyatnya.
[72] `Ali ibn Muhammad al-Amidi Abu al-Hasan (631). Al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam
. Bayrut: Dar al-Fikr. 1404. Cetakan Pertama. (4 juz).
Tahqiq: Sayyid al-Jamili. Juz IV. Hlm. 35.
[73]
Abu Bakr `Abd Allah ibn Muhammad ibn Abi Syaybah al-Kufi (159-235), al-Kitab
al-Mushannaf fi al-Ahadits wa al-Atsar
, (al-Riyadh: Maktabah al-Rusyd,
1409), tahqiq Kamal Yusuf al-Huth, (7 juz). Juz II. Hlm. 18-19.
[74]
Ahmad ibn Hanbal Abu `Abd Allah al-Syaybani (164-261), Musnad al-Imam Ahmad
ibn Hanbal
, (Mishr: Dar al-Qurthubah, t.t.) 
(6 juz). Juz I. Hlm. 58.
[75] Ibid.
Juz I. Hlm. 160.
[76] Ibid.
Juz I. Hlm. 367.
[77]
Muhammad ibn `Isa, Abu `Isa al-Turmudzi al-Sulami (209-279), al-Jami`
al-Shahih – Sunan al-Turmudzi

(Bayrut: Dar Ihya’ al-Turats al-`Arabi, t.t.), tahqiq Ahmad Muhammad
Syakir dkk. Juz II. Hlm. 294.
[78]
Abu Bakr Ahmad ibn `Amr ibn `Abd al-Khaliq al-Bazar (215-292). Al-Bahr
al-Zakhar (Bayrut dan al-Madinah: Mu’asasah `Ulum al-Quran dan Maktabah
al-`Ulum wa al-Hukm. 1409) Cetakan Pertama. Tahqiq: Mahfuzh al-Rahman Zayn
Allah. (3 juz). Juz II. Hlm. 262
[79] Ibid.
Juz II. Hlm. 263-264.
[80] Ibid. Juz II.
Hlm. 265.
[81] Ahmad ibn
Syuayb Abu `Abd al-Rahman al-Nasa’i (215-303). Al-Sunan al-Kubra. (Bayrut: Dar
al-Kutub al-`Ilmiyah. 1991). Cetakan Pertama. Tahqiq: `Abd al-Ghafar Sulayman
al-Bundari dan Sayyid Kasrawi Hasan. Juz  
(6 juz). Juz I. hlm. 147. Lihat juga dalam al-Nasa’i.
Al-Mujtaba min al-Sunan. Juz II. Hlm. 119.
[82] Ibid. Juz I.
hlm. 149.
[83] Ibid. Juz I.
hlm. 178.
[84] Nama
lengkapnya adalah `Amr ibn `Abd Allah ibn `Ubayd, Thabaqah: tabi`in pertengehan
(al-wustha min al-tabi`in) Nasab: al-Sabi`I al-Hamdani. Kunyah: Abu
Ishaq. Tempat tinggal dan meninggal dunia di Kufah tahun 128 H. Dalam penilaian
sejumlah ulama, seperti Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma`in, Abu Hatim al-Razi,
al-`Ijli  dan al-Nasai , ia itu tsiqqah,
demikian pula Ibn Hiban menyebutkannya dalam al-Tsiqat. 
[85] `Ashim ibn Dhamrah adalah generasi (thabaqah)
pertengahan  tabi`in. Nasab: al-Saluli,
bertempat tingal di Kufah, dan meninggal pada tahun 174 H. Menurut Ahmad ibn
Hanbal lebih tinggi daripada al-Harits, menurut Ibn al-madini dan Ibn Sa`ad ia
itu tsiqqah, menurut Ibn `Amar lebih kuat daripada al-Harits menurut al-Nasai,
laysa bih ba’s dan menurut Yahya ibn Ma`in ia itu tsiqqah dan orang syi`ah.
[86] Nama dan kun-yah-nya
sama adalah Abu al-Ahwash; generasi pertengehan tabi`in; nasab:
al-Laytsi, tempat tinggal di Madinah. Menurut Ibn Hiban ia itu tsiqqah, menurut
Yahya ibn Ma`in  ia itu laysa
bisyay’i,
menurut al-Nasa’i la na`rifuh, menurut Abu Ahmad al-Hakim laysa
bi al-matin `indahum,
sedangkan menurut Ibn al-Qaththan: la
yu`raf lahu hal.
Rutbah: Maqbul.
[87]Lihat:
Ahmad ibn `Abd Allah ibn Ahmad al-Ashbahani, Abu Nu`aym (336-430). Musnad
al-Imam Abi Hanifah
. (Al-Riyadh: Maktabah al-Kawtsar. 1415.) Cetakan
Pertama. Tahqiq: Nazhar Muhammad al-Fariyabi. (1 juz)
[88]
Lihat : Sunan al-Turmudzi. Juz II. Hlm. 294.
[89] Muhammad Syams
al-Haq al-`Azhim Abadi Abu al-Thayyib. A`un al-Ma`bud Syarh Sunan Abi Dawud.
Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah. 1415. Cetakan Kedua (10 Juz). Juz III, hlm.
212.
[90]
Lihat: al-Bayhaqi. Sunan al-Kubra. Juz II. Hlm. 488
[91]
Lihat Abu Dawud al-Thayalisi. Musnad al-Thayalisi. Hlm. 81.
[92]
Lihat Ahmad ibn Hanbal. Musnad Ahmad. Juz V. Hlm. 416.
[93]
`Abd ibn Humayd ibn Nashr Abu Muhammad al-Kasiyyi (239). Al-Muntakhab min
Musnad `Abd ibn Humayd. Al-Qahirah: Maktabah al-Sunnah. 1988. Cetakan Pertama.
Tahqiq: Subhi al-Badri dan Mahmud Muhammad Khalil. (1 juz). Hlm. 104.
[94]
Lihat Abu dawud al-Sijistani. Sunan Abi Dawud. Juz II. Hlm. 23.
[95]
Lihat Muhammad ibn Yazid al-Qazwini. Sunan Ibn Majah. Juz I. Hlm. 365.
[96]
Lihat Al-Bayhaqi, Sunan al-Kubra. Juz II. Hlm. 488.
[97]
`Ubaydah ibn Mu`attib. Thabaqah: al-Wustha min al-Atba`. Nasab: al-Dhabiyy.
Kunyah: Abu `Abd al-Karim. Laqab: al-Dharir. Bertempat tinggal di Kufah.
Menurut Ahmad ibn Hanbal: Taraka al-Nas Haditsah; menurut Yahya ibn Ma`in:
Laysa bi Syay’; menurut Ibn Hibban: Ikhtalatha bi akhirih fa bathala al-Ihtijaj
bih; menurut Abu Zur`ah : Lays bi Qawiy; menurut Abu Hatim: Dha`if
al-Hadits.  menurut al-Nasa’i: Dha`if wa
Kana qad Taghayyara. Lihat: Ibn Abi Hatim. Al-Jarh wa al-Ta`dil. Juz VI. Hlm. 94.
Ahmad ibn Syu`ayb al-Nasa’i. Al-Dhu`afa wa al-Matrukiyyin. Halb: Dar al-Wa’y.
1369. Cetakan Pertama. (1 juz). Tahqiq: Mahmud Ibrahim Zayid. Hlm. 73.
[98]
Lihat Musnad abi Ya`la Juz VII. Hlm. 330
[99]
Lihat al-Thabrani. Al-Mu`jam al-Kabir. Juz XII. Hlm. 129.
[100]  Diriwayatkan untuk pertama kalinya oleh Malik
ibn Annas dalam kitab-nya Muwatha’, kemudian di-takhrij (diriwayatkan
kembali dengan menggunakan sanad lain dan biasanya redaksi matan yang sedikit
berbeda) oleh ulama hadits berikutnya, yaitu: Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad-nya,
juz VI, hlm. 73 dan hlm. 216; al-Bukhari dalam al-Jami` al-Shahih juz I,
hlm. 385; juz  II, hlm. 708 dan juz III,
hlm. 1308, Muslim dalam kitab Shahih-Nya juz I, hlm. 509. Abu Ya`la
dalam kitab musnad-nya juz VIII, hlm. 222; Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya,
juz VI, hlm. 346; dan  al-Nasa`i dalam al-Sunan
al-Kubra,
juz I, hlm. 159. Ibn Khuzaymah dalam kitab Shahih-nya juz
I, hlm. 30, juz II, hlm. 192.
[101]  Malik
ibn Anas Abu `Abdillah al-Ashbahi (179). Muwatha’ al-Imam Malik. Mishr: Dar
Ihya’ al-Turats al-`Arabi. (2 juz). Tahqiq: Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi. Juz I,
hlm. 120.
[102] Ahmad ibn
Syu`ayb Abu `Abd al-Rahman al-Nasa’I (303). Al-Sunan al-Kubra. Bayrut: Dar
al-Kitab al-`Ilmiyah. 1991. Cetakan Pertama. (6 juz). Tahqiq: `Abd al-Ghafar
Sulayman al-Bandari. Juz I, hlm. 172. Juz Vi, hlm. 185. Lihat juga Sunan
al-Nasa’i (al-Mujtaba min al-Sunan). Halab: Maktabah al-Mathbu`ah al-Islamiyah.
Cetakan Kedua.  (8 juz). Tahqiq: Abd
al-Fatah Abu Ghadah. Juz III, hlm. 235.
[103] Muhammad ibn
`Abd Allah Abu `Abd Allah al-Hakim al-Nisaburi (405). Al-Mustadrak `ala
al-Shahihayn. Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah. 1990. Cetakan Pertama. (4 juz).
Mushthafa `Abd al-Qadir. Juz I, hlm 447.
[104] Ahmad ibn
al-Husayn ibn `Ali ibn Musa Abu Bakr al-Bayhaqi (458). Sunan al-Bayhaqi
al-Kubra
. Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz. 1994. (10 juz).
Tahqiq: Muhammad `Abd al-Qadir. Juz III, hlm. 31.
[105]
Hanya Ahmad ibn Hanbal dan madzhab Zhahiriyah, yang menyebutkan tasyahhud awwal
itu rukun shalat.
[106] Lihat; Mushannaf `Abd al-Razaq. Juz II. Hlm. 62.
[107]
Lihat: Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz II. Hlm. 454.
[108]
Lihat: Al-Jami al-Shahih al-Mukhtashar. Juz
I. hlm. 272.
[109]
Lihat: Ibid. Juz I.
hlm. 276.
[110]
Lihat: Shahih Muslim. Juz I. hlm. 293.
[111]
Lihat: Shahih Ibn Khuzaymah, Juz
I. hlm. 290.
[112]
Abu `Awanah Ya`qub ibn Ishaq al-Isfirayni (316). Musnad Abi `awanah.
Bayrut: Dar al-Ma`rifah. 1998. Cetakan Pertama. (5 juz). Tahqiq; Ayman ibn
`Arif al-Dimasqa. Juz I. hlm. 425. Lihat Juga pada Juz II. Hlm. 93.
[113]
Lihat: Sunan Abi Dawud. Juz I. Hlm. 221.
[114]
Lihat : Sunan al-Kubra li al-Nasa’i. Juz
I. hlm. 246. Lihat juga: al-Nasa’i. Sunan
al-Nasa’i
(al-Mujtaba min al-Sunan). Juz II, hlm. 233.
[115]
Lihat: Ibid. Juz I. hlm. 349. Lihat juga: Sunan al-Nasa’i. Juz II, hlm.
181.
[116]
Lihat: Sunan al-Bayhaqi al-Kubra. Juz II, hlm. 67, 127 dan 134. Lihat juga:
Al-Bayhaqi. Sunan al-Shugra. Al-madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Dar. Cetakan
Pertama. 1989. (1 juz). Tahqiq: Muhammad Dhiya’ al-Rahman al-`Azhami. Hlm. 238.
[117] Abu Umar Yusuf ibn `Abd Allah ibn `Abd al-Bar al-Namri. Al-Tamhid. Juz XXI. Hlm. 70.
[118] Lihat Sunan
al-Turmudzi, juz II, hlm. 491.
[119] `Abd Allah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi,
Abu Muhammad (541-620). Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad ibn Hanbal al-Syaybani.
Bayrut: Dar al-Fikr. 1405. Cetakan Pertama. (10 Juz). Juz  I.
Hlm. 433.
[120]Muhammad
Syams al-Haq al-`Azhim Abadi, Abu al-Thayyib. `Awn al-Ma`bud Syarh Sunan Abi
Dawud. Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah. 1415. Cetakan Kedua. (10 Juz).  Juz IV. Hlm. 122-123.