Ilmu Falak dan Peranannya dalam Islam

Ilmu Falak dan Peranannya dalam Islam
Oleh: Forum Kajian AFDA (Astronomy & Falak Deep Analysis)
Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Mesir

Fenomena astronomi banyak terulas dalam al-Qur’an, ini merupakan bukti bahwa al-Qur’an menganjurkan kepada manusia untuk merenungi fenomena alam. Al-Qur’an dalam konstruksinya selain berisi tentang hidayah, akidah, ibadah dan sejarah, juga berisi dan bernuansa ilmu pengetahuan , meski al-Qur’an tidak disebut sebagai kitab ilmu pengetahuan. Cukup banyak temuan-temuan terkini yang terdeteksi melalui al-Qur’an. Sejatinya pula al-Qur’an tidak menghambat laju kemajuan ilmu pengetahuan, namun penemuan dan penelitian ilmiah yang bersifat relatif tidak harus dilegalisir oleh al-Qur’an karena al-Qur’an bukan buku ilmu pengetahFenomena astronomi (falak) banyak tertera dalam al-Qur’an yang pada kenyataannya sangat terkait dengan aktifitas manusia. Sumbangsih terbesar ilmu falak dalam Islam adalah peranannya dalam penentuan waktu-waktu ibadah.

Pengertian Ilmu Falak
Secara sederhana ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tentang tata lintas pergerakan benda-benda langit, khususnya bumi, bulan dan matahari dalam garis edarnya masing-masing untuk dipelajari fenomenanya dalam rangka kepentingan manusia. Khusus dalam Islam, ilmu ini berguna untuk menentukan waktu-waktu ibadah.
Ilmu falak merupakan cabang ilmu pengetahuan yang sudah tua, sebab ilmu ini ada sejak jagat raya ini terbentuk. Kata ‘falak’ atau ‘aflâk’ dalam bahasa Arab bermakna orbit atau edar benda-benda angkasa.[1]Ibnu Khaldun (w. 808 H) menyebut ilmu ini dengan “hai’ah” yaitu ilmu yang menjelaskan tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang diam maupun yang bergerak, serta menjelaskan tentang gumpalan-gumpalan awan yang bertaburan.[2]
Sejarah Ilmu Falak
Dalam peradaban Islam, ilmu falak pada mulanya tidak lebih hanya sebagai kegiatan pengamatan alam untuk kepentingan pertanian, perdagangan, penentuan ritual keagamaan, dan kepentingan lainnya. Namun tak jarang pula digunakan untuk kegiatan peramalan (nujûm, astrologi). Orang-orang dahulu percaya bahwa alam ini berada di bawah kekuasaan tersembunyi dari benda-benda angkasa di cakrawala (matahari, bulan, planet-planet dan benda angkasa lainnya). Mereka percaya bahwa kehidupan dan ketenangan hidup manusia berada di bawah kendali peredaran benda-benda angkasa tersebut. Pemahaman ini didapat secara turun-temurun dari peradaban (bangsa-bangsa) kuno sebelumnya. Bangsa Arab primitif (jâhilîmisalnya sangat gemar mengamati dan mempelajari perbintangan (nujûm). Mereka memberi perhatian penuh pada gerakan angkasa terutama bintang-bintang, hingga mereka berani meramal kejadian-kejadian di masa datang tentang keberuntungan dan kesialan seseorang atau sekelompok orang, bahkan nasib seorang raja dan negara yang di dasarkan pada peredaran benda-benda langit tersebut.[3] Datangnya Rasulullah Saw bersama dengan turunnya al-Qur’an memberi cara pandang baru dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Allah Swt dan Rasul-Nya menjelaskan bahwa bahagia dan celaka mutlak dalam kekuasaan Allah Swt.
Dalam perkembangan berikutnya, Islam banyak melahirkan sarjana-sarjana astronomi yang berpengaruh di dunia, antara lain Al-Buzjani (w. 388 H), Ibnu Yunus (w. 399 H), Ibn al-Haitsam (w. 430 H), Al-Biruni (w. 440 H), Abu Ali al-Hasan al-Marrakusyi (w. ± 680 H), Ibn al-Majdi (w. 850 H), dan tokoh-tokoh lainnya. Adalah Dinasti Abbasiah, tepatnya masa pemerintahan Jakfar al-Mansur, yang berjasa meletakkan ilmu falak pada posisi istimewa setelah ilmu tauhid, fikih, dan kedokteran. Ketika itu ilmu falak tidak hanya dipelajari dan dipandang dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, namun lebih dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran, dan lain-lain. Tidak tanggung-tanggung, khalifah Al-Mansur membelanjakan dana negara yang besar dalam rangka mengembangkan kajian ilmu falak. Tak pelak, Ilmu falak berkembang dan mencapai kecemerlangannya pada peradaban Islam.
Matahari, Bulan & Penanggalan dalam al-Qur’an
Dalam Islam sistem penanggalan di dasarkan pada peredaran faktual bulan mengelilingi bumi pada porosnya, sementara penanggalan Masehi (Miladi) berdasarkan peredaran faktual bumi mengelilingi matahari. Bila diperhatikan, cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan peredaran benda-benda angkasa tersebut, antara lain:
[1.] QS. Al An’am [06] ayat 96:
Artinya: “Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang maha perkasa lagi maha mengetahui”. [QS. Al-An’am [06] : 96]
[2.] QS. Yunus [10] ayat 05:
Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak, Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”. [QS. Yunus [10] : 05]
[3.] QS. Al Baqarah [2] ayat 189:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji, dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. [QS. Al-Baqarah [02] : 189]
Ketiga ayat diatas secara zahir menyatakan bahwa perhitungan bilangan tahun dan perhitungan waktu-waktu lainnya adalah melalui pergerakan matahari dan bulan, dan QS. Al-Baqarah [02] ayat 189 diatas menegaskan perbedaan kalender Islam dengan kalender lainnya.
Di dalam al-Qur´an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang peredaran matahari dan bulan yang menandakan adanya rotasi-revolusi bumi dan matahari, antara lain:
[4.] QS. Ar Ra’du [13] ayat 02:
Artinya: “Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu”. [QS. Ar-Ra’d [13] : 02
[5.] QS. Ibrahim [14] ayat 33
Artinya: “Dan dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang”. [QS. Ibrahim [14] : 33][4]
[6.] QS. Ar-Rahman [55] ayat 05:
Artinya: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” [QS. Ar Rahman [55]: 05]
[7.] QS. At-Takwir [81] ayat 15-16:
Artinya: “Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam” [QS.At Takwir [81] : 15 – 16][5]
[8.] QS. Yasin [36] ayat 38:
Artinya: “Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang maha perkasa lagi maha mengetahui”. [QS. Yaasin [36] : 38][6]
[9.] QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 33:
Artinya: “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”. [QS. Al Anbiya’ [21]: 33] [7]
[10.] QS. Yasin [36] ayat 40:
Artinya: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”. [QS. Yasin [36]: 40][8]
Dalam suatu penelitian diketahui bahwa bumi dan matahari memiliki dua gerak yaitu rotasi & revolusi, sebagaimana percikan makna ayat-ayat diatas. Rotasi matahari adalah perputaran matahari pada porosnya dari arah barat ke timur (atau dari arah timur ke barat secara semu). Sementara itu rotasi bumi adalah waktu yang diperlukan bumi dalam sekali putaran pada sumbunya hingga menyebabkan terjadinya siang dan malam.[9] Melalui penelitian intensif, ditemukan bahwa matahari juga mengadakan revolusi, dimana al-Qur’an telah memberi isyarat tentang hal ini berdasarkan ayat di atas (QS. Yasin [36] ayat 38).[10]
Sementara itu revolusi bumi adalah proses bergeraknya bumi mengelilingi matahari dalam orbitnya dari arah timur ke barat, yang pada satu ketika bumi berada di titik terjauh dari matahari  yang disebut denganaphelion, dan pada ketika yang lain berada di titik yang terdekat dengan matahari yang disebut perihelion.[11]Fenomena ini antara lain ditegaskan Allah Swt dalam firman-Nya:
Artinya: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [QS. An Naml [27]: 88]
Dalam peredarannya, matahari beredar di ekliptika secara sempurna satu kali peredaran selama 365,25636042 hari, dan masa yang diperlukan matahari secara sempurna sekali beredar di ekliptika ini disebut satu tahun Sidereal.[12] Sementara itu waktu berangkat matahari dari equinox (titik hamal) ke equinox(titik hamal) berikutnya disebut satu tahun Tropical.[13]
Dalam penanggalan Hijriah, perhitungan penanggalan dilakukan berdasarkan peredaran bulan di ekliptika selama 12 bulan. Satuan waktu bulan kamariah yang digunakan sebagai perhitungan penanggalan Hijriah adalah waktu bulan Synodic yang berjumlah 29, 530589 hari, yaitu dengan menetapkan secara bergantian antara 30 hari dan 29 hari. Adapun sisa pecahan 0,530589 hari dibulatkan menjadi satu hari dan ditambahkan kepada bulan Zulhijah dengan berjumlah 30 hari. Tahun yang mendapat penambahan satu hari pada bulan Zulhijah ini dinamakan tahun Kabisat.
Awal Bulan Kamariah
Penetapan awal bulan kamariah dalam Islam dimulai dengan munculnya hilal, yaitu bulan sabit yang pertama kali terlihat yang terus membesar menjadi bulan purnama, menipis kembali dan akhirnya menghilang dari langit sebagaimana diisyaratkan QS. Al-Baqarah [02] ayat 189 diatas. Belakangan, penentuan awal bulan dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan (hisab) astronomi. Satu tahun kamariah adalah jangka waktu yang dibutuhkan bulan mengelilingi bumi selama 12 kali putaran dengan rata-rata satu tahun lamanya 354 11/30 hari. Berbeda dengan tahun matahari, yaitu jangka waktu yang dibutuhkan oleh bumi untuk mengelilingi matahari (berevolusi) dengan rata-rata satu tahun lamanya 365 1/4 hari.[14] Ilmu astronomi modern sudah sangat akurat memperhitungkan dan memperkirakan terlihatnya hilal dengan sangat teliti, tingkat ketelitian ini sudah lebih dari cukup untuk keperluan teknis penentuan awal-awal bulan kamariah. Namun dalam penentuan awal bulan Ramadan – Syawal dan Zulhijah persoalan tidak sederhana, hadis Nabi Saw. menyatakan awal dan akhir Ramadan ditetapkan melalui pengamatan hilal (rukyat).
Sebuah hadis Nabi Saw menyatakan “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbuka (berhari-raya)-lah karena melihat hilal, dan jika hilal tertutup oleh awan, lakukanlah pengkadaran” (HR. Bukhari-Muslim). Nabi Saw menegaskan lagi “Kita adalah umat yang ‘ummî‘, tidak menulis dan tidak menghitung, bulan itu ada kalanya 30 hari dan adakalanya 29 hari” (HR. Bukhri-Muslim)[15]. Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis Nabi Saw diatas bermakna bahwa dalam memulai dan mengakhiri puasa & hari raya hanya dengan melakukan pengamatan bulan sabit saja, yaitu terlihatnya hilal di awal Ramadan dan Syawal sesuai dengan keumuman dan keliteralan hadis. Dengan kriteria jika hilal terlihat pada saat terbenam matahari tanggal 29 Syakban maka esok harinya adalah awal puasa, demikian pula jika hilal terlihat pada tanggal 29 Ramadan maka esok harinya adalah hari raya dan rukyatul hilal mutlak dilakukan. Namun jika terdapat penghalang yang menutupi hilal – seperti mendung – maka pelaksanaan puasa dan atau hari raya harus ditunda sehari dengan menggenapkan (istikmâl) bilangan bulan Syakban dan atau Ramadan menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nabi Saw yang menyatakan bahwa umur bulan itu adakalanya 30 hari dan adakalanya pula 29 hari. Ibnu Rusyd (w. 595 H) dalam “Bidâyatu’l Mujtahid”nya mewakili jumhur dalam hal ini.[16]
Betapa demikian, tidak sedikit ulama dan ilmuan yang memberi ruang yang luas terhadap ilmu hisab astronomi dalam sumbangsihnya terhadap penetapan waktu-waktu ibadah di kalangan umat Islam, dengan alasan bahwa pada dasarnya penetapan waktu-waktu ibadah tersebut terkait erat dengan fenomena astronomi yang pada dasarnya dapat teratasi dengan kemajuan dan kemapanan teknologi. Berdasarkan penelitian intensif yang dilakukan oleh para pakar hisab-falak terdapat beberapa kelemahan dan kesulitan dalam rukyat, antara lain jauhnya jarak hilal, kehadiran hilal yang sangat singkat, kondisi sore hari yang terkadang tidak bersahabat seperti banyaknya awan, asap kenderaaan dan pabrik, dan lain-lain. Dan tak kalah pentingnya adanya faktor psikis (kejiwaan) dalam melihat hilal.[17]
Imam Taqî ad-Dîn as-Subkî (w. 756 H) dalam “Al-Fatâwânya, Ibnu Suraij dan Ibnu Daqiq al-’Id  yang dikutip Ahmad Muhammad Syakir dalam risalah kecilnya (Awâ’il al-Syuhûr al-‘Arabiyah Hal Yajûzu Syar’an Itsbâtuhâbi’l Hisâb al-Falakî), Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manâr-nya, Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqh al-Shiyâm-nya, Dr. Ali Jum’ah dalam fatwa kemasyarakatannya (Al-Bayân Li mâ Yasyghalu’l Adzhân), dan Tanthawi Jauhari dalam Tafsir Al-Jawâhir-nya adalah sederetan ulama klasik dan kontemporer yang memberi ruang luas atau setidak-tidaknya mentolerir terhadap kemajuan teknologi (hisab-falak) dalam memulai dan mengakhiri puasa-hari raya.[18]
Taqî ad-Dîn as-Subkî misalnya, menyatakan bahwa beberapa ulama besar telah mewajibkan atau setidak-tidaknya membolehkan berpuasa berdasarkan hasil hisab yang menyatakan hilal telah mencapai ketinggian yang memungkinkan untuk terlihat (imkânu al-ru’yah). Menurutnya, pendapat ini yang disebut sebagai wajhmemandang imkan rukyat sebagai sebab wajibnya puasa dan hari raya, namun berbeda dengan wajh ashahyang tetap mengaitkannya dengan perintah rukyat (nafs al-ru’yah) atau ikmâl al-‘iddah (penggenapan bilangan). Selanjutnya as-Subki mengemukakan, bila pada suatu kasus ada orang yang menginformasikan atau menyaksikan bahwa hilal telah terlihat padahal hisab akurat (qath’i) menyatakan bahwa hilal tidak mungkin terlihat, misalnya karena posisinya yang terlalu dekat dengan matahari, maka informasi tersebut harus dianggap keliru dan kesaksian tersebut harus ditolak. Hal ini beliau kemukakan mengingat nilai khabar(informasi) dan kesaksian bersifat dugaan (zhân), sedang hisab bersifat pasti (qath’i). Telah dimaklumi bahwa sesuatu yang qath’i tidak dapat didahului atau dipertentangkan dengan sesuatu yang zhân.[19]
Ahmad Muhammad Syakir, dalam karyanya juga secara cermat menerangkan kronologi pembolehan hisab. Kesimpulannya; telah dimaklumi bahwa pada mulanya bangsa Arab sebelum dan di awal berkembangnya Islam tidak mengerti ilmu falak dengan pemahaman secara komprehensif (ma’rifatan ‘ilmiyyatan jâzimatan)sebab mereka adalah umat yang ‘ummî, tidak menulis dan tidak menghitung. Karena itu Rasul Saw menjadikan sarana termudah dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal yang dapat dilakukan oleh semua bangsa Arab ketika itu, yaitu rukyatul hilal. Ini adalah sarana terbaik dan efektif dalam aktifitas ibadah mereka untuk menghasilkan rasa yakin dan percaya dalam batas kesanggupan mereka. Sesungguhnya pula, Allah Swt tidak membebani hamba-Nya lebih dari kesanggupannya. Akan tetapi seiring tumbuh dan berkembangnya Islam dengan terjadinya berbagai kemenangan (futûhât), diiringi dengan kemajuan yang pesat ilmu pengetahuan di semua disiplin, tanpa terkecuali ilmu hisab-falak (astronomi). Sementara itu sebagaimana disinggung diatas, tidak banyak fukaha dan muhadditsîn yang memahami ilmu ini secara komperehensif. Sementara mereka yang percaya dan mengerti pun, tidak mampu mengelaborasi ilmu ini dengan tuntutan fikih. Lantas beliau (baca: Ahmad Muhammad Syakir) memberi hujah dengan argumen yang dikemukakan oleh Taqî ad-Dîn as-Subkî dalam Fatâwâ-nya.[20]
Waktu Salat
Firman Allah Swt:
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan Salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. [QS. AnNisa’ [4]:103]
Firman Allah Swt.:
Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh Malaikat)”. [QS. Al Isra’ [17]: 78]
Hadis baginda Nabi Saw.:
[وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطًوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ وَقْتُ الْعَصْرِ, وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرِّ الشَّمْسُ , وَوَقْتُ  صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ, وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلىَ نِصْفِ اللَّيْلِ اْلأَوْسَطِ, وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ].[21]
Artinya: ”Waktu Zuhur ketika matahari tergelincir dan bayang seseorang sama panjang selama belum datang waktu Asar. Waktu Asar selama matahari belum menguning, waktu Magrib selama awan merah belum hilang, waktu Isya’ hingga pertengahan malam, dan waktu Subuh dari sejak terbit fajar hingga sebelum matahari terbit”. [HR. Muslim]
Dari keterangan tiga dalil di atas, dengan jelas diterangkan bahwa waktu salat punya limit dan ketentuan dalam praktiknya. Dalam penentuan waktu salat, data astronomi terpenting adalah posisi matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenit, dan fenomena yang dicari kaitannya dengan posisi matahari adalah fajar, terbit, melintasi meridian, terbenam, dan senja. Dalam hal ini ilmu falak berperan menafsirkan fenomena yang disebutkan al-Qur’an dan hadis di atas, dan teraplikasikan dalam berbagai bentuk rumus matematis. Dalam penetapan waktu-waktu salat, secara umum masyarakat telah sepakat menerima data astronomi (baca: perhitungan) sebagai acuan.
Arah Kiblat
Firman Allah Swt.:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhan-mu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah atas apa yang kamu kerjakan”. [QS Al Baqarah [2]: 149]
Kiblat (Kakbah) adalah arah yang dituju kaum muslimin dari seluruh penjuru bumi dalam Salat yang terletak di kota Mekah al-Mukarramah kerajaan Arab Saudi.[22] Bagi Umat Islam, mengetahui arah ke Mekah menjadi penting, karena di sanalah letak Kakbah yang menjadi arah kiblat Salat umat Islam. Khusus dari Indonesia, Kakbah berada sekitar 20º – 30º dari arah barat dihitung ke utara. Posisi ini pada prinsipnya dapat ditentukan jika kita mengetahui posisi geografis Kakbah (Lintang dan Bujur Mekah) dan posisi geografis tempat kita berada (Lintang dan Bujur wilayah/kota di Indonesia).
Untuk keperluan penentuan arah kiblat, diperlukan informasi lokasi setempat dan Kakbah (Mekah) dan arah mata angin benar. Untuk menentukan posisi kita (lintang dan bujur geografis) secara tepat, kita bisa menggunakan GPS (Global Positioning System) atau merujuk Daftar Lintang-Bujur yang dikeluarkan oleh Instansi resmi, seperti: Kementerian Agama RI, Badan Hisab Rukyat RI, Badan Metereologi dan Geofisika (BMG), dan lain-lain. Sedangkan mengenai arah mata angin, jika kita akan menggunakan kompas, maka kita harus memiliki data posisi kutub utara magnetik bumi sebagai fungsi posisi dan waktu. Nah, jika kita telah mengetahui posisi geografis Kakbah dan posisi kita, maka dengan trigonometri bola (ditambah koreksi bentuk bumi yang tidak bulat sempurna) kita dapat menghitung arah kiblat.


Catatan:
[1] Majma’ al-Lughah al-’Arabiyah Republik Arab Mesir, Al-Mu’jam al-Wajîz, t.t., h. 481.
[2] Abd ar-Rahman  bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Tahkik: Hamid Ahmad at-Thahir, Dar al-Fajr li al-Turats, Kairo, cet. I, 1425 H/2004 M, h. 602.
[3] Imam Ibrahim Ahmad, Târîkhu’l Falak ‘Inda’l ‘Arab, Maktabah al-Tsaqafiyah Wizarah al-Tsaqafah wal Irsyad al-Qawmy, t.t., h. 15.
[4] Kata beredar dalam terjemahan ayat tersebut berasal dari kata ‘dâ’ibain’ yang berarti ‘menyinari’ dan ‘beredar’.
[5] Kata beredar yang dipakai pada ayat tersebut berakar dari kata ‘al jawâri‘ dari akar kata “ja-wa-ra“ yang artinya bertetangga, sehingga dapat diartikan dalam ayat tersebut sebagai bertaburan.
[6] Kata ‘tajrî dalam QS. Al-Ra’du [13] ayat 02 berarti berlari, dan kata  ‘li-mustaqarrillahâ berarti tempat hangusnya atau tempat teriknya matahari yang berasal dari akar kata ‘saqara’, sehingga arti yang memungkinkan adalah rotasi matahari pada porosnya sendiri, bukan perputaran terhadap sesuatu yang lain.
[7]  Kata “yasbahûn“ berarti berenang-renang atau dapat diartikan sebagai beredar.
[8] Keterangan ayat ini merupakan ulangan dari QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 33, kedua ayat tersebut memiliki arti dalam pengertian peredaran mengelilingi sesuatu yang lain atau dalam suatu orbit. Fungsi kata ‘kullun’ yang artinya ‘masing masing’ dapat diartikan bahwa matahari dan bulan masing masing memiliki orbit sendiri yang terpisah.
[9] Dra. Hj. Erlina Hasan, Penanggalan (Târîkh), [Diktat Mata Kuliah Ilmu Falak] Fakultas Syari’ah Universitas Islam Sumatera Utara-Medan, t.t., h. 5.
[10] Ibid, h. 4
[11] ibid, h. 7
[12] Ibid, h. 8.
[13] Ibid
[14] Dr. Ir. H.S. Farid Ruskanda, M.Sc, APU, 100 Masalah Hisab & Rukyat, Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, Gema Insani Press, cet. I, 1416 H-1996 M, h. 14.
[15] Masih banyak lagi hadis-hadis senada dan semakna lainnya yang membicarakan hal ini, sebagaimana banyak menghias dalam buku-buku hadis maupun fikih.
[16] Lihat: Ibnu Rusyd, Bidâyatu’l Mujtahid wa Nihâyatu’l Muqtashid, j. I, Dar Ihya’, Indonesia, t.t., h. 206.
[17]  Lebih lanjut lihat: Dr. Ir. H.S. Farid Ruskanda, M.Sc, APU, op. cit, h. 41-46.
[18] Perbincangan lebih lanjut tentang hisab dan rukyat dengan panjang lebar telah penulis bahas di Skripsi S-1 tahun 2003 M dengan judul “Itsbât Awwal Ramadhân wa Syawwâl fî Indunîsiyâ; Muqâranah baina Tharîqathay al-Ru’yah wa’l Hisâb”.
[19] Taqî ad-Dîn as-Subkî, Fatâwâ al-Subkî, Maktabah al-Qudsi,  j. I, t.t., h. 217 dst.
[20] Ahmad Muhammad Syakir, Awâ’il al-Syuhûr al-‘Arabiyah Hal Yajûzu Syar’an Itsbâtuhâ bi’l Hisâb al-Falakî, Maktabah Ibn Taimiyah-Kairo, cet. II, 1407 H, h. 8-9.
[21] HR. Muslim dari Abdullah bin Umar. Lihat: Muhammad bin Isma’il al-Shan’any, Subul al-Salâm SyarhBulûghi’l Marâm, j. I, Dar al-Hadits, Kairo-Mesir, cet. I, 1421 H/2000 M, h. 15.
[22] Dr. Ali Hasan Musa, ‘Ilmu’l Falak bayna al-Sâ‘il wa’l Mujîb, Damaskus-Syria, 2004 M, h. 224.