Matahari dan Bulan Sebagai Patokan Waktu Peribadatan

Waktu pelaksanaan Shalat dilaksanakan berpatokan pada pergerakan semu matahari “terlihat” dari bumi, waktu pelaksanaan shalat hanya berbasis hari bukan tanggal (bulan). Sementara shaum dan haji, waktu pelaksanaannya berpatokan pada “matahari dan bulan” sekaligus.

Untuk menentukan awal – akhir bulan Ramadhan, shaum bidh pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan, shaum `Arafah 9 Dzulhijjah, `Asyura 9/10 Muharram berbasis pada perhitungan tanggal/bulan, dan shaum Senin – Kamis dan shaum Dawud berbasis hari. Namun penentuan batas shaum “setiap harinya” berpatokan pada pergerakan semu matahari, mulai imsak berpatokan pada terbit fajar yang disamakan dengan waktu pelaksanaan shalat shubuh dan terbenam matahari yang disamakan dengan waktu pelaksanaan shalat Maghrib.

Demikian pula pelaksanaan ibadah haji, secara umum berpatokan pada penanggalan bulan terkhusus lagi untuk wukuf di `Arafah, tetapi untuk prosesi lainnya, seperti waktu utama melempar jamarat berpatokan pada matahari termasuk penentuan nafar awal atau nafar sani dan thawaf ifadhah dari mina berdasarkan pergerakan semu matahari.

Di masa Rasululloh, Shahabat, Tabi`in sampai Imam-imam madzhab, semuanya hanya dapat diketahui melalui pengamatan mata (rukyat) secara langsung. Perhitungan astronomi (hisab falakiyah) sama sekali tidak digunakan, baik untuk mengetahu waktu-waktu shalat, shaum ataupun haji.

Dalam perkembangannya, untuk waktu-waktu pelaksanaan peribadatan yang berpatokan pada pergerakan semu matahari, seperti waktu-waktu shalat dan imsak serta buka puasa — Belum diketahui sejak kapan dimulai — sudah tidak lagi berdasarkan pada hasil “pengamatan langsung mata kepala pada pergerakan semu matahari”, melainkan cukup dengan mengandalkan perhitungan astronomi (hisab falakiyah) yang sama sekali tidak pernah dilakukan baik di masa Rasulullah, Shahabat, Tabi`in bahkan Imam-imam madzhab. Kenyataan semacam ini, hampir-hampir tidak ada yang mempersoalkan sama sekali. Seakan-akan jadwal shalat yang menempel di dinding itu sudah ada semenjak masa Rasulullah SAW.

Lain bulan lain matahari, untuk waktu-waktu peribadatan yang berpatokan pada fase-fase peredaran bulan, terkhusus untuk memulai berpuasa Ramadhan (tidak dipersoalkan untuk puasa-puasa sunat) dan lebih-lebih untuk berlebaran, hasil perhitungan hisab falakiyah ini, belum diterima oleh semua kalangan. Anehnya lagi, bagi pihak yang belum menerima “berlebaran” berdasarkan hisab falakiyah ini, setiuap harinya — selama 1 bulan lamanya — mereka mulai batas imsak puasa dan berbuka dengan yakin menggunakan jadwal hasil hisab falakiyah tanpa keraguan sedikit pun. Mereka tidak lagi mengamati dengan mata kepalanya kapan fajar menyingsing di ufuk timur dan kapan matahari tenggelam di ufuk barat sebagai yang diperintahkan al-Quran dan al-Sunnah. Namun ketika mereka mau makan ketupat, berpakaian serba baru untuk berhari raya dan mudik pulang kampung, hisab dianggapnya ghayr masyru`atau bid`ah yang karenanya lebaran menjadi “tidak sah” jika tidak berdasarkan pengamatan langsung (rukyat) terhadap hilal.

Jika hanya rukyatul hilal saja yang masyru untuk menentukan hari raya 1 Syawwal, tidak dengan hisab falakiyah, maka bagaimana nasib dari ibadah puasa sebulan sebelumnya yang berdasarkan hisab ???? Teramat rugi rasanya, jika yang sah itu hanya lebarannya yang berdasarkan rukyatul hilal, sementara ibadah puasa sebulan lamanya menjadi tidak sah karena imsak dan berbuka setiap harinya berdasarkan jadwal hasil hisab falakiyah atau bahkan berdasarkan pemantauan terhadap adzan yang dikumandangkan di pesawat telivisi atau radio. Uniknya lagi, jika mau buka mencari chanel TV dan radio yang lebih dulu mengumandangkan adzan, jika mau imsak berpatokan pada yang terakhir mengumandangkan adzan shubuh.

Muncul pertanyaan: “Apakah memang ada perbedaan petunjuk dan perintah dari Al-Quran dan al-Sunnahnya terkait dengan waktu-waktu pelaksanaan shalat, imsak dan buka puasa yang berpatokan pada pergerakan semu matahari dan penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal yang berpatokan pada peredaran bulan?” Sehingga yang satu boleh dan sah untuk di hisab, yang lain menjadi tidak boleh dan tidak sah jika dihisab!